
JAKARTA, 6 MEI 2025 – VNNMedia – Kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelangsungan dunia usaha dalam negeri, terutama sektor ekspor dan pelaku UMKM.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada neraca dagang nasional, tetapi juga berpotensi mengganggu struktur persaingan usaha di pasar domestik.
Langkah Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang menetapkan tarif reciprocal sebesar 32% bagi produk dari Indonesia dan sejumlah negara ASEAN, dinilai akan menurunkan daya saing produk ekspor nasional. Produk unggulan seperti minyak sawit, tekstil, elektronik, alas kaki, karet, dan kopi dikhawatirkan kehilangan pangsa pasar karena menjadi lebih mahal dibandingkan produk serupa dari negara lain seperti Malaysia, yang hanya dikenai tarif 24 persen.
KPPU juga mencermati risiko melimpahnya stok produk ekspor ke pasar dalam negeri sebagai akibat turunnya permintaan luar negeri. Hal ini berpotensi menekan harga komoditas lokal, yang pada akhirnya merugikan petani, pelaku usaha kecil, dan sektor industri padat karya. Selain itu, situasi tersebut membuka peluang masuknya produk-produk murah dari Tiongkok ke pasar Indonesia. Barang-barang seperti elektronik, baja, furnitur, hingga kendaraan diperkirakan akan membanjiri pasar domestik setelah mengalami penolakan di pasar AS akibat tarif tinggi, dengan nilai potensi ekspor Tiongkok yang dialihkan mencapai USD 221,6 miliar.
Dalam kondisi pasar yang kelebihan pasokan, KPPU memperingatkan adanya potensi praktik predatory pricing, yakni strategi menjual barang di bawah harga pasar untuk mendominasi pasar dalam negeri. Taktik ini sangat merugikan pelaku usaha lokal, khususnya yang tidak memiliki kapasitas modal sebesar perusahaan multinasional.
KPPU juga mengingatkan bahwa industri yang bergantung pada pasar ekspor AS berisiko mengalami pengurangan produksi, bahkan pemutusan hubungan kerja akibat turunnya pesanan. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut bisa membuka peluang terjadinya akuisisi oleh investor asing terhadap perusahaan-perusahaan nasional yang terdampak, yang akan berdampak pada perubahan struktur pasar dan keseimbangan persaingan usaha di dalam negeri.
Wakil Ketua KPPU, Aru Armando, menyatakan bahwa situasi ini membutuhkan pengawasan lebih ketat, khususnya terhadap aksi merger dan akuisisi. Ia menekankan pentingnya koordinasi lintas kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Bank Indonesia, guna mengantisipasi dampak jangka panjang dari kebijakan tarif global terhadap struktur usaha nasional.
Selain itu, KPPU turut menyoroti respons pemerintah yang cenderung mengakomodasi tekanan dagang AS, misalnya melalui peningkatan impor dari AS, pelonggaran kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), dan penghapusan kuota impor. Meski langkah-langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan perdagangan, KPPU mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak negatif terhadap pelaku usaha lokal yang belum siap bersaing dengan produk-produk impor berkualitas tinggi dan berharga murah.
Guna merespons dinamika ini, KPPU merekomendasikan sejumlah langkah strategis kepada pemerintah. Pertama, pemerintah perlu mengoptimalkan peran KPPU dalam mengawasi praktik monopoli dan distorsi persaingan usaha yang mungkin muncul akibat kebijakan tarif AS. KPPU juga menyarankan adanya mekanisme konsultasi antara pemerintah dan KPPU terkait isu-isu seperti subsidi, TKDN, dan bea masuk anti-dumping, guna memastikan setiap kebijakan perdagangan tetap mendukung iklim usaha yang adil.
Kedua, dibutuhkan pembentukan tim koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk mengawasi secara ketat aktivitas merger dan akuisisi, terutama di sektor-sektor strategis yang terdampak langsung oleh tekanan dagang global. Ketiga, pengawasan terhadap arus masuk produk impor perlu diperketat, terutama yang bersaing langsung dengan produsen domestik. Pengetatan ini mencakup pengawasan terhadap impor ilegal maupun transaksi lintas negara melalui platform e-commerce.
Selain itu, KPPU juga mengusulkan adanya kebijakan relaksasi persaingan usaha bagi pelaku ekspor yang terdampak langsung oleh tarif AS. Dalam konteks ini, pelaku usaha dan asosiasi dapat diberikan ruang untuk berkonsultasi dan berdiskusi dengan KPPU terkait kendala persaingan yang mereka hadapi dan strategi adaptasi yang dapat ditempuh.
Aru menegaskan bahwa kelompok yang paling rentan terkena dampak dari perang dagang atau kebijakan tarif global adalah UMKM Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah agar selalu menjadikan UMKM sebagai faktor utama dalam setiap perumusan kebijakan ekonomi ke depan. Menurutnya, jika UMKM tidak dilindungi sejak dini, maka dalam jangka panjang Indonesia bisa kehilangan kendali atas pasar domestiknya sendiri.
“UMKM adalah garda depan Indonesia. Jika tak dijaga hari ini, besok kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri,” kata Aru.
Sebagai penutup, KPPU juga menekankan perlunya keterlibatan langsung dalam forum-forum pengambilan kebijakan strategis pemerintah, termasuk rapat kabinet dan rapat koordinasi ekonomi. Keterlibatan ini dianggap penting untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang diambil tetap berpihak pada persaingan usaha yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News