Ulas Buku “Prahara Bangsa”, Ichsanuddin Noorsy Buktikan Inkonsistensi Teori dan Paradigma dalam Amandemen UUD’45

SURABAYA, 18 DESEMBER 2024 – VNNMedia -Ekonom politik Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan, ada sejumlah hal yang patut dikritisi ketika berbicara tentang kondisi bangsa saat ini. Carut marut politik hingga ekonomi menurutnya adalah buah dari Amandemen UUD’45 yang dilakukan saat reformasi tahun 1999 hingga tahun 2002.

Ia mengungkapkan, dari identifikasi, inventarisasi dan dokumentasi atas fenomena yang terjadi, maka ia berkesimpulan bahwa amandemen UUD’45 yang dilakukan telah mengakibatkan terjadinya krisis ideologi dalam berkonstitusi.

“Karena beberapa saat setelah reformasi, saya melihat kekacauan pada pasal 33 ayat 4. Saya telusuri. Saya bertemu dengan beberapa tokoh. Setelah itu saya tarik ke depan, saya temukan semakin makin banyak terjadi kekeliruan. Semakin ke dalam saya temukan begitu banyaknya inkonsistensi teori dan paradigma,” kata Ichsanuddin Noorsy saat bedah buku “Prahara Bangsa” yang digelar di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Selasa (17/12/2024). Hadir dalam kesempatan tersebut, Anggota DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Ia menegaskan, ada sesuatu yang salah dalam amandemen. Karena secara konsepsi teori dan paradigmatik, terjadi inkonsistensi. “Yang paling menarik lagi, jelas-jelas tidak ditemukan naskah akademiknya. Ketika mereka melucuti MPR, maka kajian akademiknya tidak ditemukan. Ketika mereka berbicara tentang pasal 33 pasal 4 tentang demokrasi ekonomi, maka tidak ditemukan juga naskah akademiknya,” ujarnya.

Ia juga mengkritisi arah Indonesia yang berkiblat ke negara barat. Karena baginya “Seabad Barat Gagal”, artinya sistem kepemimpinan dan kebijakan yang diterapkan oleh negara barat ternyata gagal menjadikan rakyatnya hidup bahagia.

“Apa indikatornya, yaitu kemanusiaan. Apa perbedaan orang miskin China dan Amerika. Orang miskin Amerika, di hari tua mereka bingung soal rumah, menjadi gelandangan, butuh fentanil dan butuh surat ketagihan obat-obatan. Sementara orang miskin China tidak. Maka tidak bisa seperti itu, ada yang salah ketika Indonesia mengambil itu sebagai ukuran,” tegasnya.

Ia juga mengkritisi prilaku politik di Indonesia. Pada pasal 6A ayat 2 dinyatakan bahwa pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu partai politik atau gabungan partai politik sebelum pemilihan umum berlangsung, sementara pemilihan umumnya berlangsung secara LUBER. “Maka di situ masalahnya. Kenapa hanya satu atau beberapa partai politik. Kenapa di situ muncul sebelum pemilu,” tandasnya.

Ia kemudian memberikan contoh kegagalan PDI Perjuangan dalam hal kaderisasi dengan mengusung Joko Widodo sebagai presiden, padahal nyata-nyata Jokowi bukan kader parpol. “Apa dampaknya, maka di pasal 4, manajemen keanggotaan dan manajemen partai gagal. Ini artinya peran partai politik gagal, sebab sumber kekayaan terbesar partai politik adalah sumber daya manusianya,” tegas Noorsy.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh guru besar ITS Daniel M Rasyid bahwa politik adalah bahaya besar. “Tiba-tiba partai politik muncul sebagai satu-satunya yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden,” katanya.

Akibatnya, terjadi monopoli politik. Dan itu esensi dari high cost politik. Sehingga oksigen kebijakan politik dipenuhi dengan uang. “Saya kira ini adalah sumber kerusakan dan korupsi. Korupsi agar investasi dan logistik politik kembali. Terutama fenomena pilpres. Oleh kawan fisipol, diakui sebagai pencapaian puncak kemenangan civil society pada otoritarianisme Orba,” katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh associate profesor Universitas Airlangga Radian Salman bahwa apa yang diperoleh dari reformasi adalah prahara, buahnya adalah petaka.

“Prahara itu dimulai dari amandemen UUD’45. Konsensus itu akhirnya hilang, sehingga pemilu itu menjadi pencapaian yang besar. Seolah-olah fair dalam pemilihan, tetapi kenyataannya tidak. Demokrasi kita hari ini tidak menghasilkan keseimbangan dalam parlemen karena tidak ada oposisi,” pungkasnya.

Baca Berita Menarik Lainnya di Google News