
SURABAYA, 22 MEI 2025 – VNNMedia –
Oleh: Hadi Prasetya
Pengamat Politik, Sosial dan Ekonomi
Dialog Kunci
“Kami tidak bisa membiarkan sistem jatuh, tapi kami juga tidak bisa membiarkan mereka lolos tanpa hukuman”, demikian pernyataan Hank Paulson (Menteri Keuangan AS) pada saat krisis finansial global 2008 yang melanda Amerika ditandai dengan keruntuhan Lehman Brothers. Ini kisah nyata yang kemudian dibuat filmnya pada tahun 2011 berjudul “Too Big To Fail”.
Film ini mengungkap kerapuhan sistemik kapitalisme global yang ketika krisis terjadi, institusi keuangan raksasa (Lehman Brothers, AIG) dianggap terlalu besar untuk dibiarkan bangkrut, karena kolapsnya akan meruntuhkan seluruh sistem ekonomi Amerika, sehingga Pemerintah Amerika berupaya keras menyelamatkan sistem keuangannya.
Krisis Lehman memperlihatkan bagaimana kegagalan suatu bank bisa menular ke sektor lain (real estate, pasar saham, lapangan kerja) melalui utang dan derivatif yang rumit.
Pemerintah AS terpaksa menyelamatkan AIG dengan dana talangan $85 miliar untuk mencegah domino effect, sementara Lehman dibiarkan bangkrut karena dianggap “bisa dikorbankan”.
Budaya Wall Street yang penuh ambisi dan spekulasi mempengaruhi bank-bank mengambil risiko spekulatif (misal, subprime mortgage) karena yakin pemerintah akan menyelamatkan mereka jika gagal. Para bankir dengan rakusnya terus menggelembungkan aset beracun, meski tahu risiko kebangkrutan.
Sementara masyarakat merasa bahwa bailout (talangan) oleh pemerintah hanya menciptakan ketidakadilan rakyat kecil menanggung konsekuensi, sedangkan eksekutif bank tetap dapat bonus.
Krisis finansial tersebut menyebabkan pertarungan kekuasaan dalam hal tekanan politik dan kepanikan. Keputusan bailout dipengaruhi lobi para bankir, ketakutan akan resesi global, dan tekanan untuk menjaga stabilitas sebelum Pemilu AS 2008. Menteri Keuangan Hank Paulson sebagai mantan CEO Goldman Sachs dituduh bias menyelamatkan mantan koleganya di Wall Street.
Film menyoroti ketiadaan aturan di pasar derivatif dan credit default swaps yang tidak diawasi, serta keserakahan para elit finansial global melalui para bankir (bandit keuangan) yang terus menggelembungkan aset beracun, meski tahu resiko kebangkrutan; dan mengandalkan sistem pemerintah untuk menyelamatkan, karena apapun pemerintah mau tidak mau menjaga eksistensi negara-bangsa betapapun pahit situasinya.
Politik Kekuasaan Manipulatif Dan Mementum Perbaikan
Dalam analogi, kisah “Too Big to Fail” bisa ditarik pesan pembelajaran secara literatif ke situasi perpolitikan dalam negeri Indonesia terkini.
Terlepas dari betapapun kontroversialnya Pemilu dan Pilpres 2024, betapapun cibiran ‘legitimasi vs manipulasi’, Presiden Prabowo telah diberi amanat rakyat memimpin negeri ini dalam situasi yang oleh banyak pakar disebut (dalam bahasa halus) tidak baik-baik saja, atau dalam bahasa kasar carut-marut.
Memang Presiden terpilih telah memenangkan pemilihan atas peran Presiden sebelumnya yang ‘menitipkan anaknya’ sebagai wakilnya dalam suatu drama ala film thriller yang penuh ketegangan, penuh aksi dan misteri. Maka pasca suksesi, militer terpolarisasi, karena drama thriller yang terjadi (menurut logika kelompok purnawirawan militer, berbasis analisis intelijen yang tajam tentang ‘perang kekuasaan’), Presiden Prabowo hendak dijadikan ‘jembatan’ konstitusional bagi putera mahkota.
Kelompok purnawirawan TNI yang punya obsesi ketulusan jiwa pengabdian dan memegang teguh jiwa Sapta Marga pun terkonsolidasi dan berujung pada lahirnya tuntutan ke-8 yang tidak bisa dihalangi hanya oleh narasi “sesuai konstitusi”, karena implikasi politiknya terhadap bangsa-negara dinilai jauh lebih buruk dan merusak. Hal ini bisa dicermati dari berbagai pemberitaan media.
Pertarungan politik kekuasaan kemudian berkembang meluas melibatkan ‘perlawanan’ dari kelompok-kelompok masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dan mencakup berbagai isu perlawanan. Berbagai isu kebohongan publik yang dianggap by design, dugaan berbagai skandal korupsi besar yang makin mencuat dan sedang ditangani Kejaksaan Agung, serta berbagai isu lain tentang manipulasi hukum ketatanegaraan dan lain-lain, membuat perlawanan mengeras.
Besaran (magnitude) dari korupsi yang luar biasa besar dan sistemik, menyebabkan sebagian (besar?) masyarakat, dengan logika sederhana normatif, menduga tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan kelompok elit penguasa. Maka pemimpin penguasa sebelumnya yang dianggap bertanggung jawab terus diserang, diharapkan bisa membuka tutup kotak pandora, dan dituntut harus bertanggungjawab atas carut marut yang terjadi.
Jika dicermati dari berbagai ulasan dan kritik media, Presiden Prabowo meski mendapat estafet kekuasaan dari yang lama, justru malah diharapkan rakyat bisa menjadi ‘penyelamat’ situasi negara-bangsa yang terancam terpecah belah.
Kelompok perlawanan kekuasaan masih menghormati legalitas konstitusi disatu sisi, tetapi tidak bisa menerima sama sekali oknum-oknum kekuasaan yang terlibat dalam berbagai manipulasi dan korupsi untuk bisa berlenggang kangkung berselancar dalam krisis politik yang berdampak serius terhadap sosial-ekonomi masyarakat luas.
Posisi Presiden Prabowo tergiring pada situasi dilematis, seperti posisi pemerintah Amerika menghadapi krisis finansial global 2008 dalam kisah film “Too Big to Fail”. Mungkin Presiden Prabowo akan mempunyai prinsip seperti Hank Paulson (Menteri Keuangan AS): “Kami tidak bisa membiarkan sistem jatuh, tapi kami juga tidak bisa membiarkan mereka lolos tanpa hukuman”.
Dalam film ‘Too Big to Fail’ yang dimaksud ‘mereka’ adalah para bankir Wall Street yang terus menggelembungkan aset beracun, karena ketamakan dan kerakusannya, meski tahu risiko kebangkrutan. Sedangkan ‘mereka’ dalam konteks politik kontemporer dalam negeri tentu mereka yang dicurigai dan diduga telah berkomplot memanipulasi konstitusi, menebarkan kebohongan terinstusionalisasi dan terstrukur sistemik, yang termanifestasi dalam berbagai bentuk korupsi besar, memanfaatkan judol untuk money politic, tebang pilih penegakan hukum, serta penyanderaan politik melalui rekayasa hukum.
Lalu siapa ‘mereka itu’? Masyarakat belum tahu karena narasi para elite melalui buzeer demikian intens dan simpang siur, menampilkan pro-kontra. Langkah mengejutkan Presiden Prabowo untuk menempatkan TNI mendukung Kejagung menunjukkan situasi memang serius dan penuh ancaman.
Terlepas dari keraguan bahwa militer akan intervensi hukum, nampaknya sebagian (besar?) masyarakat justru melihat fakta empiris bahwa kasus-kasus korupsi besar justru telah diungkap Kejagung. Situasi kemudian berbalik, justru Kejagung menjadi harapan masyarakat dan diandalkan menjadi ‘instrumen penyelamat’ negara dari kebangkrutan karena korupsi.
Pakar berpendapat, ini adalah ‘momentum emas’ bagi Presiden Prabowo untuk bisa mengurai situasi carut marut agar negara kembali ke jalan ‘lurus’ membangun kemajuan dan kesejahteraan menuju Indonesia Emas 2045.
Perlawanan Dalam Kepanikan
Entah siapa, tapi siapapun oknum elit dan kelompok yang telah membuat sistem kekuasaan menjadi begitu manipulatif pada periode kekuasaan sebelumnya, pasti merasakan secara nyata bahwa betapapun kuatnya skenario mempertahankan kelanggengan kekuasaan, akan makin memudar dan rapuh seiring suksesi, pergantian pejabat, dan dinamika politik di tingkat grass root yang diluar perkiraan.
Yang bisa dilakukan adalah bagaimana bisa bertahan dan mencari jalan keselamatan diri. Kelompok elit rezim (dan oligarki) bukanlah suatu entitas yang monolitik, mereka mempunyai agenda dan batasan sendiri-sendiri, untuk melindungi diri sendiri jika situasi tidak terkendali.
Perlawanan dalam kepanikan untuk bisa bertahan dan selamat dari krisis kepercayaan, melahirkan banyak narasi dan gesture perlawanan yang tidak saja tumpang tindih, tetapi juga kontradiktif, sehingga justru makin membuka kotak pandora peristiwa manipulatif (skandal) yang ditutupi rapat-rapat sebelumnya. Pepatah sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga bisa berlaku dalam drama politik kekuasaan.
Perlawanan rezim pembuat krisis, secara teoritis akan memanfaatkan fragmentasi sosial dan identitas politik untuk mengkonsolidasi dukungan kelompok loyalis, Juga memanfaatkan potensi polarisasi di mana tuduhan skandal justru memperkuat solidaritas kelompok pendukung, terutama jika lembaga penuntut dianggap bias.
Hal ini bisa dibaca dari pemikiran Horowitz (1985) tentang konflik etnis dan demokrasi, dan Chantal Mouffe (2005) tentang “politik antagonistik” di mana konflik sosial dimanfaatkan untuk mempertahankan relevansi politik.
Di tengah situasi kemiskinan dan pengangguran, mantan penguasa juga bisa mempertahankan diri melalui jaringan patronase dengan membagikan sumber daya (uang, pekerjaan, akses layanan) kepada pendukung setia, sebagaimana pemikiran Kitschelt & Wilkinson (2007) tentang clientelism dan Acemoglu & Robinson (2012) tentang kontrol aset strategis.
Dalam kepanikan, mantan penguasa juga mengadopsi retorika populis untuk melawan tuduhan skandal dengan mengklaim sebagai korban atau mengalihkan isu untuk menutupi skandal.
Betapapun mantan rezim penguasa bertahan, tetapi krisis adalah hasil akumulasi kesalahan sistemik, maka sistem kekuasaan penuh manipulasi yang dianggap terlalu besar dan kuat untuk bisa jatuh, pada akhirnya oleh rakyat akan dipandang terlalu berbahaya untuk dipertahankan.
Narasi konstitusional (asal legal) sebagai perisai pertahanan diri untuk ‘sembunyi’ tidak bisa lagi diandalkan. Skandal yang terlalu besar sulit untuk bisa ditutupi (Too Big to Cover). Indonesia terlalu besar (mahal) untuk dibiarkan rusak dengan menutupi keculasan para bandit negeri.
Inilah salah satu pesan dari film Too Big To Fail yang bisa menjadi wawasan literatif masyarakat di negeri ini.
Baca Berita Menarik di Google News