
SURABAYA, 8 JULI 2025 – VNNMedia – Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan pemerintahan Donald Trump terhadap produk dari berbagai negara Asia menciptakan pukulan keras bagi industri manufaktur nasional. Namun, di tengah tekanan global ini, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, melihat justru bisa menjadi peluang emas.
Adik menyebut situasi ini sebagai paradoks strategis. Di satu sisi, tarif tersebut mengancam industri ekspor utama Indonesia seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur, sektor yang selama ini menjadi andalan ekonomi, terutama bagi Jawa Timur. Namun di sisi lain, tarif tersebut justru menempatkan Indonesia dalam posisi kompetitif yang lebih baik dibandingkan negara pesaing.
Secara nasional, dampak kebijakan ini sangat sistemik. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan bisa terkontraksi hingga 0,5%. Rupiah tertekan dan berpotensi menyentuh angka Rp17.217 per dolar AS. Lebih dari itu, ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar Amerika sangat besar: 61,4% ekspor pakaian dan 33,8% ekspor alas kaki bergantung pada Negeri Paman Sam.
“Ribuan pabrik tekstil di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Klaster sepatu di Mojokerto, serta industri furnitur di Pasuruan dan Malang, kini menghadapi ancaman kehilangan pasar dan daya saing. Jika tak ditangani dengan cepat, potensi pemutusan hubungan kerja bisa meluas, mengancam jutaan pekerja dan merembet ke sektor UMKM serta perbankan daerah,” ungkap Adik Dwi Putranto di Surabaya, Selasa (8/7/2025).
Namun, di tengah ancaman ini, Indonesia memiliki keunggulan tarif dibandingkan rival langsungnya. Negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan Kamboja dikenai tarif yang lebih tinggi, masing-masing 46%, 37%, 36%, dan 49%.
Artinya, produk Indonesia kini lebih murah secara relatif di mata pembeli Amerika. Selisih tarif sebesar 14% dibanding Vietnam dan 5% dibanding Bangladesh menjadi keuntungan strategis yang sangat signifikan.
Kondisi ini membuka peluang pasar baru senilai miliaran dolar. Perusahaan Amerika yang rasional akan memilih pemasok dengan tarif lebih rendah, dan Indonesia secara tiba-tiba menjadi pilihan utama. Ini adalah jendela peluang yang langka, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perdagangan kawasan.
Adik melihat bahwa Jawa Timur sangat siap untuk memanfaatkan momentum ini. Dengan klaster industri yang telah matang, infrastruktur pelabuhan internasional seperti Tanjung Perak dan Gresik yang mendukung distribusi global, serta kapasitas produksi yang besar, provinsi ini hanya membutuhkan percepatan eksekusi kebijakan.
Selain itu, struktur biaya di Jawa Timur masih lebih efisien dibandingkan Malaysia dan Korea Selatan, dua pesaing non-Asia Tenggara yang juga mengincar ceruk pasar Amerika.
Jika peluang ini dimaksimalkan, ekspor Jawa Timur bisa meningkat signifikan. Potensi tambahan nilai ekspor diperkirakan mencapai USD 2 miliar hingga USDD 3 miliar dari pergeseran pasar Vietnam, USD 800 juta hingga USD 1,2 miliar dari Bangladesh, dan USD 500-800 juta dari Thailand.
“Dalam skenario optimis, Indonesia bisa naik dari eksportir tekstil terbesar kelima menjadi ketiga di pasar Amerika Serikat, dan Jawa Timur akan menjadi motor utama perubahan itu,” tegas Adik.
Meski demikian, Adik mengingatkan bahwa ancaman tetap ada. Malaysia, yang hanya dikenai tarif 24%, bisa menjadi pesaing kuat di sektor elektronik. Situasi ini menuntut respons cepat dan presisi tinggi. Keterlambatan dalam mengambil langkah bisa membuat momentum ini lepas dan dimanfaatkan oleh negara lain yang lebih siap.
“Kadin Jawa Timur menekankan tiga kunci utama untuk mengubah ancaman menjadi peluang. Kecepatan pelaksanaan kebijakan industri, peningkatan kualitas dan efisiensi produk, serta kemampuan dalam membaca dan menangkap momentum pergeseran pasar global,” katanya.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News