Survei Terbatas StatsMe: Gen Z Tak Lupakan Perjuangan RA Kartini

SURABAYA, 21 April 2025 – VNNMedia – Bulan April identik dengan RA Kartini. Namun, seiring zaman membuat pembicaraan tentang RA Kartini dan Hari Kartini tak lagi sesanter dulu.

Emansipasi yang dipelopori RA Kartini terkait kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan dan laki-laki, kini berdampingan dengan isu-isu modern. Di antaranya isu tentang gender equality, gender equity, feminism, dan independent women.

Namun, apakah lirihnya perbincangan tentang RA Kartini serta merta memudarkan ketokohan perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, itu? Lantas, apakah Hari Kartini juga sudah tidak dianggap penting lagi?

Dalam waktu tujuh hari, StatsMe melakukan survei terbatas terkait ketokohan RA Kartini dan peringatan Hari Kartini. Sebanyak 109 responden yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi terlibat dalam survei. “Sekitar 80 persen responden berasal dari Jawa Timur,” terang Direktur StatsMe Lussi Agustin.

Sasaran utama survei adalah Generasi Z atau Gen Z. Survei yang berlangsung pada 9-15 April 2025 itu meneliti beragam aspek. Antara lain adalah peran perempuan dalam pendidikan, partisipasi perempuan dalam dunia kerja, dan keterlibatan perempuan di ranah politik yang secara umum masih didominasi laki-laki.

Kartini Pelopor Emansipasi
Terkait ketokohan RA Kartini, hasil survei terbatas StatsMe menunjukkan bahwa Gen Z masih mengenal RA Kartini dan kiprahnya. Ini terbukti dari sebanyak 82,57 persen responden yang masih ingat bahwa 21 April adalah Hari Kartini. Sebanyak 80 persen responden survei terbatas StatsMe adalah Gen Z.

Sampai sekarang pun, RA Kartini masih identik dengan emansipasi. “Hari-hari ini, makna emansipasi saat ini sudah bergeser menjadi lebih luas. Tidak hanya tentang kesetaraan akses di dunia pendidikan,” kata Lussi.

Sebanyak 58 persen responden mengaitkan emansipasi dengan konsep kesetaraan gender. Sementara, 18 persen responden lainnya menilai emansipasi sebagai kebebasan dan kemandirian perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Baik dalam memilih pendidikan, karier, maupun peran dalam keluarga dan masyarakat.

Sebanyak 24 persen responden beranggapan, emansipasi erat kaitannya dengan perjuangan perempuan. Atau, selaras dengan perjuangan RA Kartini.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa perjuangan RA Kartini mengalami pergeseran makna seiring berjalannya waktu. Jika dulu emansipasi identik dengan perjuangan untuk kesetaraan akses pendidikan, kini maknanya meluas. Mulai dari perjuangan untuk mengaktualisasikan diri, mendapatkan partisipasi yang setara, hingga kebebasan menentukan arah hidup.

Sekolah Melestarikan Semangat Kartini
Ketika diminta menyebutkan persepsi mereka tentang ketokohan RA Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia, sebanyak 64,22 persen responden mengaku sangat berpengaruh. Sedangkan, sebanyak 32,11 persen yang lain menyebut perjuangan RA Kartini berpengaruh.

Yang menarik, Gen Z menyatakan bahwa sekolah menjadi tempat yang banyak membagikan informasi dan pengetahuan terkait RA Kartini. Bahkan, peringatan Hari Kartini pun tetap dominan dilakukan di sekolah-sekolah.

Sebanyak 63 persen responden menyebut sekolah sebagai tempat mereka memperingati Hari Kartini terakhir kali. Menurut Lussi, hasil tersebut tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa sekolah-sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di lokasi para responden, masih rutin menggelar peringatan Hari Kartini.

Tantangan Kesetaraan Hak Perempuan dan Laki-Laki
Mewujudkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki masih menjadi PR (pekerjaan rumah) di Indonesia. Nilai indeks yang dirilis BPS terhadap Indeks Ketimpangan Gender (IKG) terdapat penurunan 0,012 poin menjadi 0,447 pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2023, IKG tercatat 0,459.

Penurunan tersebut sudah baik, tetapi masih bisa diupayakan lebih maksimal supaya turun lebih banyak lagi di masa mendatang.

Responden survei terbatas StatsMe menyatakan bahwa tantangan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender adalah budaya patriarki. Sebanyak 52,29 persen responden menganggap konsep yang kadung mengakar dalam masyarakat itu sebagai hambatan utama kesetaraan.

“Ada banyak sekali anggapan miring terhadap perempuan dalam masyarakat akibat budaya patriarki yang kental. Ini tentunya sangat disayangkan,” ungkap Lussi.

Dia menyatakan bahwa masyarakat masih sering mengabaikan pentingnya pendidikan bagi perempuan karena perempuan dianggap cukup menjadi kanca wingking alias cukup di rumah saja mengurus rumah dan anak-anak. Anggapan bahwa perempuan yang mandiri secara finansial akan mencoreng martabat laki-laki juga masih kuat.

Cap dan stereotip yang membatasi ruang gerak perempuan itu mengakar dalam sistem sosial dan diwariskan lintas generasi sehingga memerlukan upaya jangka panjang untuk mengubahnya.

Sebanyak 36,7 persen responden mengungkapkan adanya kesenjangan dalam kesempatan kerja dan karier. Itu juga menjadi hambatan serius kesetaraan perempuan dan laki-laki. Kesenjangan itu terlihat dalam peluang promosi kerja, ketimpangan upah, dan anggapan bahwa perempuan tidak becus di beberapa sektor tertentu.

“Itu membuat perempuan harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dan posisi yang sama dengan laki-laki,” tandas Lussi.

Baca Berita Menarik Lainnya di Google News