SURABAYA, 1 MARET 2025 – VNNMedia
STRATEGIS TAPI KOK PAILIT
Hadi Prasetya, Pengamat sosial politik

Proloog
Pandemi sejak 2020 berakhir pada Desember 2022 (walau di Januari-Februari 2023 masih ada ancaman virus omicron). Dan sejak itu perekonomian nasional berangsur membaik walau sangat lambat.
Sialnya, sejak saat itu pula proses politik di Indonesia buat situasi panas dinamis menuju suksesi di Oktober 2024. Perhatian Pemerintahan (eksekutif-legislatif) banyak terserap pada event suksesi tersebut, sedang yudikatif sibuk dengan persoalan pidana-perdata yang ruwet, bahkan ada oknum-oknum penegak hukum jabatan tinggi yang terlibat.
Di tingkat masyarakat pengusaha, situasi perbisnisan terasa belum menentu, ragu-ragu dan trauma, termasuk lebih memilih sembunyi karena bukan rahasia lagi jika di masa persaingan politik ada sumbangan-sumbangan (tentu bukan amal yang berpahala).
Di tingkat masyarakat yang punya pekerjaan musiman pemilu (maksudnya ormas dadakan yang dukung calon politisi dan partai) ini masa anugerah rejeki. Semakin bersirkus-ria semakin banyak rejeki datang. Sedang masyarakat kecil dan biasa, tetap tekun mencari nafkah diantara gerojokan “hujan rejeki” -seperti siaran BMKG- “rejeki tidak merata”.
Di sebuah warung kopi, beberapa orang lagi curhat, mewakili perasaan dan pendapat kelompok-kelompok masyarakat yang masih kembang kempis ekonominya serta masa depan yang masih saja buram.
Tentang apa curhat mereka? Ternyata tentang banyaknya PHK. Konon sejak tahun 2023 ada sekitar 64.855 orang terkena PHK dan di tahun 2024 jumlahnya meningkat menjadi 77.965 orang terkena PHK. Lalu di Pebruari 2025 Sritex mem PHK sekitar 3.000 pekerjanya. Belum lagi banyak Gen Z yang belum dapat kerja dan #MauKaburSaja.
Curhatan orang-orang kecil di warung kopi itu sangat sederhana: “Masak sich Pemerintah tidak bisa mengatasi kemelut PHK ini? Saya yang sedang nongkrong minum kopi tubruk jadi merenung sambil nguping, berkontemplasi ria. Ya maklum karena pensiunan, bisanya cuma bersimpati dan berempati walau tanpa daya…
Kesulitan dan Tantangan Pemerintah menghadapi Pailit Sritex
Dari wangsit yang diterima, ada beberapa tantangan Pemerintah yang menyebabkan kesulitan mengatasi masalah Sritex, yaitu:
Masalah Keuangan dan Utang yang Kompleks
Sritex memiliki utang yang besar (sekitar $1,5 miliar), termasuk kepada kreditur internasional. Restrukturisasi utang memerlukan negosiasi rumit dengan banyak pihak, terutama di bawah kerangka hukum kepailitan yang ketat. Pemerintah (secara teori) tidak dapat langsung menalangi utang swasta tanpa risiko membebani keuangan negara. (Celetuk orang dari warung kopi: “lha itu banyak bansos abal-abal kok nggak memberatkan keuangan negara?”)
Kepatuhan Hukum dan Prosedur Kepailitan
Proses kepailitan di Indonesia diatur oleh UU Kepailitan dan PKPU, yang mengharuskan penyelesaian melalui pengadilan. Pemerintah harus menghormati proses hukum ini untuk menghindari persepsi intervensi politik atau pelanggaran prinsip transparansi (Celetuk orang dari warung kopi: “Lha konstitusi saja bisa di ulik, proses pemilu banyak cawe-cawe, kok bisa?”)
Tekanan Global dan Daya Saing
Industri tekstil global sangat kompetitif, karena negara seperti Vietnam dan Bangladesh menawarkan biaya produksi lebih rendah. Bantuan pemerintah (seperti subsidi) mungkin tidak cukup untuk mengembalikan daya saing Sritex, terutama jika masalah struktural (efisiensi, teknologi) tidak ditangani. (Celetuk orang dari warung kopi: “Lha itu kan soal teknis, masak gak ada orang pinter, menteri pinter, wakil rakyat yang pinter, dan wakil ….yang muda dan kharismatik itu tuh”?)
Keterbatasan Anggaran dan Prioritas Fiskal
Pasca-pandemi, pemerintah mungkin lebih memprioritaskan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan, infrastruktur, atau UMKM. Menyelamatkan perusahaan besar bisa dianggap tidak adil secara politis dan berisiko menciptakan preseden permintaan bailout dari perusahaan lain. (Celetuk orang dari warung kopi: “Weleh… wong anggaran banyak yang di korupsi gitu kok kang!”)
Dampak Sosial dan Ketenagakerjaan
Sritex mempekerjakan ribuan orang. Namun, restrukturisasi mungkin mengharuskan pemotongan karyawan atau penutupan pabrik, berpotensi memicu konflik sosial. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara stabilitas ekonomi dan perlindungan pekerja. (Celoteh orang dari warung kopi: “Stabilitas opo maneh? Wong wakil menteri, utusan banyak yang pelawak, crazy rich dan suka flexing, ditambah embel-embel pejabat khusus!”)
Kepatuhan terhadap Aturan Perdagangan Internasional
Indonesia terikat aturan WTO yang melarang subsidi ekspor atau bantuan negara yang distorsif. Bantuan langsung ke Sritex bisa dianggap sebagai praktik tidak adil, memicu sanksi atau protes dari negara saingan. (Celoteh orang dari warung kopi: “Weleh weleh, ya sikat aja. Yang berani seperti Trump gitu lho bela rakyatnya!”)
Masalah Tata Kelola Perusahaan
Jika kebangkrutan Sritex disebabkan oleh manajemen yang buruk atau korupsi, pemerintah akan kesulitan membenarkan bantuan tanpa reformasi internal. Transparansi dan akuntabilitas menjadi prasyarat untuk intervensi. (Celoteh orang dari warung kopi: “Ya ganti dong seluruh manajemennya dengan yang profesional”
Peran Kreditur dan Investor Asing
Kreditur asing (seperti bank Eropa atau investor global) memiliki kepentingan besar dalam proses restrukturisasi. Pemerintah harus berhati-hati agar intervensi tidak dianggap mengganggu hak kreditur atau investasi asing. (Celoteh orang dari warung kopi: “Mestinya kabinet Pemerintah kan harus punya kemampuan diplomasi; masak hanya omon-omon saja?”)
Isu Lingkungan dan ESG
Industri tekstil sering dikaitkan dengan masalah lingkungan (limbah, emisi). Bantuan pemerintah bisa menuai kritik jika tidak disertai komitmen Sritex untuk beralih ke praktik berkelanjutan. (Celoteh orang dari warung kopi: “Semprul. Itu kan masalah teknis. Serahkan saja pada mahasiwa. Selesai)
Contoh Kasus Pailit dan Peran Heroik Pemerintah
Dari penjelasan wangsit teoritis dan celoteh orang dari warung kopi diatas, kita sampai pada kesimpulan sementara: bahwa kesulitan pemerintah mencerminkan kompleksitas antara kepatuhan hukum, keterbatasan fiskal, tekanan global, dan tanggung jawab sosial. Solusi yang dimungkinkan bisa mencakup fasilitasi negosiasi kreditur, insentif tidak langsung (pelatihan tenaga kerja, perbaikan iklim investasi), atau kolaborasi dengan pihak swasta untuk akuisisi/merger, alih-alih bailout langsung.
Tetapi…..adakah contoh kasus di dunia, dimana industri strategis diselamatkan oleh pemerintah atau negara? Ya, ternyata memang ada beberapa contoh kasus di dunia di mana pemerintah berhasil membantu perusahaan swasta besar (strategis) yang pailit atau hampir kolaps untuk kembali beroperasi.
Intervensi ini biasanya dilakukan karena perusahaan tersebut dianggap memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional, seperti menyelamatkan lapangan kerja, menjaga stabilitas sektor industri, atau mencegah efek domino ke perusahaan lain.
Berikut beberapa contohnya:
General Motors (AS) – 2009
Latar Belakang: GM, raksasa otomotif AS, bangkrut selama krisis finansial 2008-2009 karena utang besar, biaya produksi tinggi, dan penurunan penjualan. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 200.000 orang secara global.
Intervensi Pemerintah: Pemerintah AS memberikan bailout senilai $49,5 miliar dalam bentuk pinjaman dan akuisisi saham.
GM menjalani restrukturisasi radikal: menutup merek tidak menguntungkan (seperti Hummer), mengurangi kapasitas pabrik, dan memangkas tenaga kerja.
Pemerintah AS menjadi pemegang saham mayoritas (60,8%) sementara, lalu melepas saham secara bertahap setelah GM pulih.
Hasil: GM kembali profitabel pada 2010 dan masih menjadi salah satu produsen mobil terbesar di dunia.
Japan Airlines (JAL) – 2010
Latar Belakang: JAL, maskapai nasional Jepang, bangkrut pada 2010 dengan utang $25 miliar akibat manajemen buruk, biaya operasional tinggi, dan persaingan ketat.
Intervensi Pemerintah: Pemerintah Jepang melalui **Enterprise Turnaround Initiative Corporation of Japan (ETIC) memberikan pinjaman darurat dan restrukturisasi utang.
JAL memangkas rute tidak menguntungkan, mengurangi 16.000 pekerjaan, dan melakukan privatisasi sementara.
Pemerintah juga memfasilitasi aliansi dengan American Airlines untuk meningkatkan efisiensi.
Hasil: JAL keluar dari kepailitan dalam 2 tahun, kembali ke Bursa Saham Tokyo pada 2012, dan menjadi salah satu maskapai paling profitabel di dunia.
Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (Korea Selatan) – 2016
Latar Belakang: Perusahaan galangan kapal terbesar kedua di Korea Selatan ini hampir bangkrut karena kerugian $3,5 miliar akibat penurunan permintaan global dan manajemen risiko yang buruk.
Intervensi Pemerintah: Pemerintah Korea Selatan melalui bank-bank pemerintah (KEXIM, KDB) menyuntikkan dana $2,6 miliar dan merestrukturisasi utang.
Dilakukan pemotongan gaji karyawan, penjualan aset non-inti, dan reorganisasi bisnis.
Hasil: Perusahaan kembali beroperasi penuh pada 2018 dan kini menjadi pemain kunci di industri kapal LNG.
Alitalia (Italia) – 2017, 2020
Latar Belakang: Maskapai nasional Italia ini bangkrut dua kali (2017 dan 2020) karena utang menumpuk dan persaingan ketat.
Intervensi Pemerintah: Pemerintah Italia memberikan pinjaman darurat €900 juta pada 2017 dan €3 miliar pada 2020 untuk menjaga operasional.
Pada 2021, pemerintah mendorong pembentukan maskapai baru (ITA Airways) sebagai penerus Alitalia, dengan modal awal €1,35 miliar.
Hasil: Meski Alitalia akhirnya ditutup, intervensi pemerintah mencegah kehancuran total sektor penerbangan Italia dan menyelamatkan ribuan pekerjaan.
Malaysia Airlines (Malaysia) – 2014–2020
Latar Belakang: Maskapai ini mengalami kerugian besar setelah tragedi MH370 dan MH17, ditambah persaingan dari maskapai low-cost.
Intervensi Pemerintah: Pemerintah Malaysia melalui Khazanah Nasional (dana kekayaan negara) mengambil alih perusahaan dengan suntikan dana $1,4 miliar.
Dilakukan restrukturisasi: pemotongan 6.000 pekerjaan, penutupan rute tidak menguntungkan, dan fokus pada rute internasional.
Hasil: Maskapai bertahan meski belum sepenuhnya pulih, dengan rencana revitalisasi jangka panjang.
Bank-Bank Swasta AS & Eropa – Krisis 2008
Citigroup (AS): Pemerintah AS menyuntikkan $45 miliar melalui program TARP (Troubled Asset Relief Program) dan mengambil saham sementara.
Royal Bank of Scotland (RBS) (UK): Pemerintah Inggris mengambil alih 84% saham RBS dengan bailout £45 miliar.
Hasil: Sebagian besar bank kembali stabil setelah restrukturisasi, meski beberapa (seperti RBS) masih di bawah kontrol pemerintah selama bertahun-tahun.
Faktor Kunci Keberhasilan Intervensi Pemerintah
Ada beberapa faktor kunci yang mendukung keberhasilan intervensi pemerintah:
Restrukturisasi Utang yang Komprehensif: Negosiasi dengan kreditur untuk haircut (pemotongan utang) atau penjadwalan ulang.
Reformasi Manajemen: Mengganti tim manajemen lama dengan profesional baru untuk meningkatkan tata kelola.
Dukungan Modal dan Insentif: Suntikan modal sementara, jaminan pinjaman, atau insentif pajak.
Penyesuaian Operasional: Menutup divisi rugi, mengurangi biaya, dan fokus pada bisnis inti.
Perlindungan Lapangan Kerja: Menjaga pekerja kunci sambil melakukan rasionalisasi tenaga kerja secara bertahap.
Kemitraan Swasta-Pemerintah: Kolaborasi dengan investor swasta atau perusahaan lain untuk akuisisi atau merger.
Dengan catatan, faktor kunci bisa berhasil kalau pemerintahnya serius, dan birokrasi dan sistem politik kekuasasan “tidak gelap” (Kata orang dari warung kopi: he he he … senggol dikit …joss)
Risiko dan Kritik
Upaya pemerintah melakukan intervensi terhadap perusahaan strategis yang collaps memang mempunyai resiko dan kritik:
Moral Hazard: Perusahaan mungkin mengulangi kesalahan jika merasa akan diselamatkan pemerintah.
Beban Fiskal: Bailout besar bisa membebani anggaran negara dan memicu protes publik (Kata orang dari warung kopi: “ Yeee…kan bisa pakai yang kate Opung 250T tidak tepat sasaran…)
Distorsi Pasar: Bantuan ke perusahaan tertentu dianggap tidak adil oleh kompetitor. (Kata orang dari warung kopi: “ Bro, ini perusahaan strategis. Right or wrong my country! Ndasmu!”)
Kesimpulan
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa intervensi pemerintah bisa berhasil jika disertai restrukturisasi radikal, transparansi, dan komitmen untuk memperbaiki tata kelola perusahaan. Namun, keberhasilan sangat tergantung pada skala kepentingan strategis perusahaan, kemampuan negosiasi dengan kreditur, dan dukungan politik yang kuat. Untuk kasus Sritex, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan model serupa dengan memastikan restrukturisasi utang, efisiensi operasional, dan kemitraan strategis (Kata orang dari warung kopi: “ Yee udah telaaat!”)
Epiloog
Sayapun akhirnya turut bicara, besti! diskusi anda menarik, mudah-mudahan ada yang dengerin diatas sana. Kite kan rakyat biase, yuuk kita puter lagu sambil joged. Lagu itu tuh “Sepiring Berdua” pan kite rakyat kecil mesti ngirit; juga lagu dangdut “Sakit Gigi” dari pade sakit hati… yang terakhir kite nyanyiin lagu Jawa untuk support Sritex “Sri Minggat”.
Semoga yang kena PHK segera dapat pekerjaan dan rezeki berlimpah, juga tuh yang korup-korup pade dibersihin. Semoga. Wallahualam.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News