Saat KeBODOHAN Memangsa Bangsanya Sendiri

SURABAYA, 22 DESEMBER 2025 – VNNMedia

Oleh: Hadipras

Ketua Dewan Pakar PWI Jatim

Untuk menutup catatan akhir tahun 2025, banyak pilihan tema untuk artikel literasi publik yang bisa digali dari hiruk pikuk dan pertikaian narasi disepanjang tahun. Tetapi mungkin yang paling tepat untuk memberi makna dan pesan di penghujung tahun ini adalah mengemas semua hiruk pikuk yang euforia dikisaran pasca reformasi 1998, lalu narasi heroik vs slintutan yang timbul tenggelam, narasi persaingan politik kekuasaan yang sebenarnya dari lembut sejak 2004-2014 hingga yang beringas di 2014-2025.

Kemasan tema yang bisa menampung semua itu adalah “kebodohan”, merujuk pada Teori of Stupidity dari Dietrich Bonhoeffer, yang dituangkan dalam surat-suratnya dari penjara Nazi pada 1940-an. Ia adalah seorang teolog dan pejuang perlawanan Jerman (Nazi).

Kebodohan, dalam pemahaman Bonhoeffer, bukanlah soal rendahnya kecerdasan atau kurangnya pengetahuan. Ia adalah “bahaya yang lebih besar daripada kejahatan itu sendiri.” Teori Kebodohan adalah konsep sosiologis dan psikologis yang sangat mendalam.

Orang jahat masih memiliki batas, masih bisa dikalkulasi dan dilawan. Namun orang bodoh, dalam konsep Bonhoeffer, telah menyerahkan kemampuan berpikir kritisnya. Mereka memilih untuk patuh, tunduk buta, dan membenarkan setiap tindakan penguasa tanpa reserve, seperti ternak peliharaan terhadap majikannya.

Di sinilah ironi terbesar terjadi: dalam sistem kekuasaan yang dikendalikan oleh orang ambisius, didukung oligarki rakus dan komprador licik (sebagai satu entitas komplotan-geng), menyebabkan kebodohan massa (publik) bukanlah kecelakaan, melainkan produk ‘industri’ yang disubsidi dengan seksama.

Bayangkan sebuah panggung sandiwara nasional. Di atas panggung, berdiri Sang Komplotan-Geng Berdarah Dingin. Ia tidak memakai topeng preman, melainkan wajah lugu, sederhana sebagai patron komplotan (yang digandrungi rakyat), tetapi dikelilingi mereka yang berdasi dan jas bermerek. Tangannya tidak kotor memegang golok, tetapi tanda tangan izin (terutama konsesi berskala mega trilyun), stempel, saham dan kontrak proyek (yang kadang fiktif).

Dalam birokrasi, tentu bagi-bagi jabatan menjadi bagian dalam membangun kelompok konspirasi.

Kekayaannya bukan hasil keringat, melainkan hasil pilhan: pilhan untuk menjual aset negara seharga recehan, pilhan untuk menggunduli hutan demi sawit dan tambang, pilhan untuk mengganti lahan pangan dengan pabrik yang menghisap air rakyat.

Darah dinginnya tampak dalam senyum ramah di seminar ekonomi, sementara di belakang layar, ia membiarkan anak-anak di daerah tambang keracunan limbah. Baginya, manusia bukanlah subjek, melainkan beban produksi yang bisa di-outsource atau diabaikan.

Di sampingnya, berbaris kelompok Komprador negeri dan swasta. Mereka adalah intelektual bayaran, ahli hukum yang memelintir undang-undang, dan ekonom yang jargonnya setinggi langit tetapi esensinya hanya satu: melayani kepentingan asing dan tuannya, Sang Komplotan-Geng.

Mereka pandai sekali mengutip teori pasar bebas sambil diam-diam mengamankan monopoli untuk bosnya. Mereka bersuara lantang tentang “iklim investasi” sambil memuluskan jalan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan bumi ini, meninggalkan limbah dan upah buruh yang menyedihkan. Komprador adalah penerjemah setia kebengisan kekuasaan oligarki ke dalam bahasa yang seolah-olah rasional dan modern.

Lalu, di mana peran kebodohan ala Bonhoeffer? Di sinilah kejeniusan sistem yang korup ini bekerja. Mereka tidak perlu membungkam rakyat dengan senjata setiap saat. Cukup menciptakan dan memelihara kebodohan. Caranya?

Pertama, banjiri publik dengan informasi sampah. Ganti berita investigasi dengan gosip selebritas. Alihkan pembicaraan dari korupsi triliunan ke perang budaya isu sepele. Hasilnya? Publik sibuk berdebat tentang warna baju artis sambil lupa bahwa hutan mereka telah menjadi kapur barus di tangan konglomerat.

Kedua, romantisasi kepatuhan buta. Puji-pujilah mereka yang “tidak banyak bicara” dan “percaya pada pemimpin”. Kriminalisasi kritik sebagai “pengganggu stabilitas” atau “anti-pembangunan”. Lambat laun, berpikir kritis menjadi dosa, sementara patuh bodoh menjadi kebajikan.

Ketiga, ciptakan ilusi partisipasi. Rakyat dibiarkan sibuk memilih dalam pesta demokrasi yang mahal, sementara pilihan nyata, siapa yang menguasai tambang, siapa yang monopoli pangan, tidak pernah tersentuh kotak suara. Pemilihan menjadi seperti memilih rasa kerupuk, sementara menu utamanya -kekayaan negara- telah habis dipesan oleh segelintir orang sebelum restoran dibuka.

Bonhoeffer mengingatkan: “Fakta bahwa orang bodoh itu keras kepala tidak boleh membuat kita mengira bahwa mereka independen. Dalam beberapa hal, seseorang bisa melakukan apa saja dengannya.”

Inilah yang dimanfaatkan oligarki dan komprador. Rakyat yang dibius kebodohan akan mengelu-elukan penjagal mereka. Mereka akan bersorak ketika hutan ditebang, menyebutnya “pembangunan”.

Mereka akan berterima kasih ketika upah dinaikkan 2%, sementara keuntungan perusahaan melonjak 200% karena keringanan pajak. Mereka bahkan akan membela mati-matian koruptor yang menguras uang sekolah anak-anak mereka, karena koruptor itu pandai bersandiwara saleh dan nasionalis.

Kata sinis terliar pun tak sanggup mengalahkan kenyataan. Di negeri ini, kita menyaksikan parade para orang berpangkat yang tiba-tiba jadi konglomerat, politisi yang kantongnya menggembung bersama utang negara, dan tokoh-tokoh masyarakat ormas besar yang bernarasi dengan dalil-dalil Kitab Suci, tafsir teori akademis yang digoreng dengan janji sorga (kesejahteraan) sambil bermitra dengan perusahaan perampok lahan.
Mereka semua dilindungi oleh tembok tebal: ‘kebodohan’ yang mereka ciptakan sendiri.

Bonhoeffer menegaskan bahwa kebodohan bukanlah cacat bawaan, melainkan hasil dari pengaruh kekuasaan yang menindas. Kekuasaan, katanya, “membuat manusia bodoh” karena ia menciptakan ilusi keamanan melalui propaganda dan slogan kosong.

Di Indonesia hari ini, bayangkan saja para oligarki rakus yang duduk di singgasana emas, dikelilingi oleh komprador yang sibuk menjilat sepatu investor asing. Mereka bukanlah monster mitologi, tapi manusia biasa yang telah berubah menjadi vampir ekonomi, berdarah dingin, haus akan kekayaan, dan tak peduli jika negeri ini jadi ladang tambang bagi korporasi global.

Satire-nya? Bayangkan seorang presiden atau menteri yang berpidato soal “pertumbuhan ekonomi inklusif”, sementara di belakang panggung, tangan mereka sibuk menandatangani kontrak tambang yang menjual hutan adat ke perusahaan.

Bonhoeffer menyoroti bahwa orang bodoh hidup dalam massa, di mana individu hilang dalam lautan slogan dan propaganda. Mereka tak lagi berpikir mandiri; segala sesuatu diterima begitu saja sebagai kebenaran mutlak. Ini mirip dengan bagaimana oligarki Indonesia memanipulasi media dan buzzer bayaran untuk membungkam kritik.

Teori Bonhoeffer menekankan bahwa kebodohan membuat orang kebal terhadap argumen rasional. “Kamu bisa berdebat dengan orang jahat, tapi dengan orang bodoh? Sia-sia,” tulisnya.

Di konteks Indonesia, ini terlihat pada bagaimana kritik terhadap korupsi ditanggapi dengan tuduhan “anti-pembangunan” atau “pengkhianat bangsa”. Satire yang menusuk: oligarki berdarah dingin ini seperti drakula yang alergi cahaya, mereka takut transparansi, jadi mereka ciptakan kegelapan dengan undang-undang yang melindungi koruptor.

Bayangkan seorang konglomerat yang mengendalikan partai politik, sambil minum kopi di yacht mewah, berkata, “Korupsi? Itu cuma gosip oposisi!” Sementara itu, komprador mereka sibuk menjual saham negara ke hedge fund asing, seolah negeri ini adalah garage sale raksasa.

Kebodohan di sini adalah ketika rakyat, yang seharusnya marah, malah diam karena dibuai janji “Indonesia Emas 2045”, sebuah visi yang lebih mirip mimpi basah oligarki daripada rencana nasional. Bonhoeffer mengingatkan, kebodohan ini menular seperti virus, dan penguasa korup adalah super-spreader-nya.

Ia berargumen bahwa kebodohan hanya bisa disembuhkan dari luar, bukan dari dalam sistem yang sudah rusak. Pembebasan harus datang dari kekuatan eksternal, seperti perlawanan moral atau revolusi.

Di Indonesia, satire ini jadi pahit: bayangkan jika rakyat menunggu “pembebas” dari oligarki itu sendiri, seperti menunggu vampir menyumbang darah ke PMI. Penguasa korup dan komprador tak akan berubah; mereka terlalu rakus, terlalu berdarah dingin.

Mungkin pembebasan datang dari generasi muda yang tak lagi terjebak slogan, atau dari tekanan internasional yang memaksa transparansi. Tapi ironinya, oligarki ini pintar memanfaatkan kebodohan: mereka ciptakan “demokrasi” yang sebenarnya oligarki berbungkus partai, di mana suara rakyat dibeli dengan uang haram.

Lantas, apa obatnya? Bonhoeffer pesimis. Katanya, hanya mungkin dari pembebasan dari luar. Dalam konteks kita, mungkin itu berarti guncangan keras yang memaksa kita terbangun: krisis yang tak terbendung, bencana ekologi total, atau kehancuran ekonomi yang menyentuh kulit sendiri.

Atau, mungkin secercah harapan masih ada jika masih ada yang mau memulai pemberontakan melawan kebodohan: dengan berpikir jernih, berbicara benar, dan menolak tunduk pada narasi yang dipaksakan.

Karena selama kebodohan ini dibiarkan meraja, oligarki dan komprador akan terus tertawa, sambil sesekali melemparkan remah-remah dari meja hijau mereka kepada para bodoh yang setia, yang justru dengan bangga memperebutkannya. Mereka bukan hanya dirampok, mereka juga diejek. Dan tragisnya, mereka masih berterima kasih.

Akhirnya, teori Bonhoeffer bukan sekadar diagnosis, tapi panggilan untuk aksi. Di tengah politik Indonesia yang dipenuhi penguasa korup, komprador penjilat, dan oligarki rakus, kebodohan menjadi alat utama mereka untuk bertahan.

Artikel penuh satire di sini bukan untuk menghibur, tapi untuk menyengat: jika Bonhoeffer hidup hari ini, ia mungkin akan bilang, “Di Jerman dulu ada Hitler, di Indonesia ada oligarki—sama-sama bodoh, tapi yang satu pakai swastika, yang lain pakai jas safari.”

Mari kita lawan kebodohan ini dengan pikiran kritis, sebelum negeri ini benar-benar jadi korban pesta pora para vampir berdarah dingin. Hanya dengan begitu, kita bisa reclaim kebebasan sejati.

Selamat memasuki tahun baru 2026, mudah-mudahan langit cerah.

Baca Berita Menarik Lainnya di Google News