
Jakarta, 06 Juni 2025-VNNMedia- Rumah subsidi direncanakan akan dipangkas luasannya oleh Kementerian PKP dengan alasan agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki hunian layak di perkotaan yang lahannya terbatas dan mahal
Pada salah satu isi draft Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang mengatur batasan luas tanah dan luas lantai rumah umum tapak, disebutkan bahwa luas tanah paling rendah 25 meter persegi dan paling tinggi 200 meter pesegi. Sementara untuk luas bangunan paling rendah adalah 18 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi, menjadikan rumah subsidi lebih kecil dari ukuran semula
Diketahui dalam peraturan sebelumnya (KepMen PUPR no.689/KPTS/M/2023) disebutkan bahwa rumah umum tapak harus memiliki luas tanah paling rendah 60 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. Sedangkan luas lantai paling rendah 21 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi
Pemangkasan tersebut menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak, termasuk Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, yang menolak rencana tersebut
baca juga: Satgas Perumahan Tolak Rencana Pengecilan Rumah Subsidi
Pengamat sektor perumahan ITB, Jehansyah Siregar mengungkapkan dampak pengurangan luasan rumah subsidi. Menurutnya, apabila bangunan rumah tapak terlalu kecil maka penghuninya akan kekurangan ruang keluarga, ruang makan, dan kamr tidur yang memadai
“Rumah yang manusiawi harus cukup luas lantai dan jumlah ruangannya. Kamr harus lebih dari satu, memisahkan kamar tidur untuk oran tua dan anak,”kata Jehansyah, Kamis (5/6)
Ia menambahkan bahwa luas tanah 60 meter persegi itu bertujuan mendapatkan lingkungan permukiman yang sehat dan berkelanjutan seperti yang diamanatkan dalam pasal 28-H UUD 1945
Lebih lanjut, Jehansyah menilai jika perumahan kecil berada di kawasan metropolitan dapat menimbulkan urban sprawl atau perluasan perkotaan yang membuat pertumbuhan kota jadi semrawut dan menyebar-nyebar atau scattered
“Scattered urban sprawl ini pada gilirannya akan menghabiskan daya dukung alam dan prasarana kota,” jelasnya
Menurut Jehansyah, dengan dinaikkan batasan maksimal penghasilan mungkin akan menaikkan minat terhadap rumah subsidi, namun hal tersebut dianggapnya salah sasaran
Mengapa demikian? Karena MBR dengan penghasilan maksimal 5 juta, yang seharusnya menjadi sasaran rumah subsidi, akan tetap memilih jadi komuter atau tinggal di kawasan kumuh perkotaan, yang berdampak pada ketidakefektifan program perumahan rakyat untuk mengurangi backlog perumahan dan permukiman kumuh, melansir Kompas.com
Baca Berita Menarik Lainnya Di Google News