
SURABAYA, 28 APRIL 2025 – VNNMedia
Hadi Prasetya
Pengamat sosial – politik & ekonomi
Disclaimer
Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai literasi publik, terutama mereka yang ingin mendalami isu-isu sosial-ekonomi-politik disertai dengan pemikiran kritis. Mungkin ini menjadi penting dan urgent jika kita ingin berpartisipasi untuk kemajuan Indonesia tercinta dan terjebak dalam drama kekuasaan yang meninabobokkan (padahal faktanya jauh dari narasi yang dibangun oleh buzer kekuasaan yang partisan).
Artikel ini dibuat relatif sederhana, agar mudah dipahami berbagai kalangan, yang peduli dengan masa depan negara-bangsa, termasuk anak-cucu agar tidak hidup dalam masa depan yang suram (madesu) atau stagnan secara nasional, tetapi makin tertinggal secara global.
Maka artikel ini diharapkan bisa menarik perhatian para generasi milenial, generasi Z dan generasi alpha yang dalam beberapa tahun lagi menjadi mahasiswa. Lebih bersyukur bila para politisi muda yang masih ‘bersih’ memanfaatkan tulisan ini sebagai tambahan wawasan atau introspeksi, karena ditangan mereka perjalanan bangsa ini dipertaruhkan.
Proloog
Konon, ketimpangan ekonomi masyarakat dewasa ini ditunjukkan oleh polarisasi kekayaan global, dimana sekitar 40-60% (?) kekayaan dunia dikuasai oleh sekitar 1% penduduk dunia. Suatu gambaran yang membuat miris tentang maraknya keserakahan, menurunnya kepedulian sosial, pengabaian terhadap keberlanjutan sosial-ekonomi juga lingkungan hidup. Bagaimana mungkin ini terjadi?
Neoliberalisme yang dipicu oleh duo Reagan dan Tatcher pada dekade 80an sebenarnya akar (benih) ideologisnya sudah dimulai sejak/pasca PD II (1940-1950an). Pemikir seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman mendorongnya melalui semacam teori alternatif dari Keynesianisme, yang mendapatkan momentumnya ketika terjadi krisis ekonomi global 1970an (stagflasi, krisis minyak).
Duo pemimpin negara adidaya tersebut mendorong pelembagaan (institusianalisasi) secara cepat ke berbagai negara di dunia yang ekonominya tergantung pada determinasi kebijakan ekonomi Inggris (dan Eropa) dan AS.
Tatcher mendorong pemangkasan subsidi negara, privatisasi BUMN dan mendorong peraturan yang implikasinya ‘melemahkan’ serikat pekerja. Reagan fokus pada pemotongan pajak, deregulasi sektor finansial dan mengurangi belanja sosial.
Kemudian di era 1990-2000an, fenomena globalisasi ditunggangi oleh paham neoliberalisme sehingga secara masif dan sistematis mendorong semacam tatanan ekonomi dunia baru di hampir seluruh dunia, dan para penguasa mega-modal (elit kapitalis) mendapatkan momentum akselerasi pemupukan kekayaan yang besarannya (magnitude) tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dalam era selanjutnya, perkembangan inovasi dan penguasaan teknologi, bukan saja memberikan efisiensi dan profit yang sangat besar berlipat ganda, tetapi juga melahirkan kapitalis super kaya seperti Elon Musk yang kekayaannya ribuan trilyun dan sekarang menjadi teman baik Trump untuk memberi warna ekonomi global kedepan.
Oligarki
Dalam era yang demikian, banyak orang kurang tepat memahami oligarki umumnya dipahami sebagai orang-orang kaya (misal di Indonesia dikenal sebagai sembilan naga, di internasional ada keluarga Rothshild yang konon berharta 5.000 trilyun, Rockefeller, Fred C Koch, Walton, Frank Mars, Mukesh Ambani, keluarga Saud dsb).
Oligarki sebenarnya adalah bentuk/sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit. Sekelompok kecil elit ini belum tentu dalam sistem pemerintahan tetapi hampir pasti terhubung dan atau didukung oleh para orang kaya dunia.
Bentuk pemerintahan yang oligarkis tentu para pemodal super kaya ‘klop’ dengan dengan para penguasa untuk kepentingan bisnis para kapitalis. Bentuk pemerintahan ini juga hampir selalu dikerubungi oleh para para oportunis kekuasaan dan petualang politik yang karakternya pragmatis.
Sistem pemerintahan oligarki secara teoritis tidak semuanya buruk (walaupun pada praktiknya lebih banyak buruknya). Oligarki (pemerintahan oleh segelintir elite) telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Plato menyebut oligarki sebagai sistem korup yang berkuasa demi kepentingan pribadi. Namun, dalam praktiknya, beberapa negara oligarkis (seperti Venesia abad pertengahan) berhasil mencapai stabilitas ekonomi melalui kontrol ketat oleh elite pedagang.
Di Indonesia, para analis sejarawan mencatat bahwa oligarki muncul dalam bentuk kekuasaan kolonial Belanda yang dikuasai segelintir pengusaha dan birokrat, dan di era kekuasaan Presiden Soeharto, tercatat kekuasaan terpusat pada keluarga presiden, militer, dan konglomerat dekat kekuasaan.
Di era Orde Baru itu (1966-1998), menurut Jeffrey Winters dalam buku Oligarchy (2011), 40 orang konglomerat menguasai 80% pasar saham Indonesia. Keluarga Cendana (Soeharto) mengontrol bisnis strategis melalui monopoli dan kroni-kapitalisme.
Kapitalisme global pasca-Perang Dingin telah memperburuk tingkat ketimpangan. Bank Dunia (2020) mencatat 1% populasi dunia menguasai 43% kekayaan global. Di Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% (2000-2020), ketimpangan (rasio Gini) tetap tinggi (0,385 pada 2022) dan juga kemiskinan yang masih norak.
Oligarki modern Indonesia, menurut Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam buku Reorganising Power in Indonesia (2004), adalah gabungan elite politik, pengusaha, dan birokrat yang mempertahankan kekuasaan melalui kontrol sumber daya.
Neoliberalisme ber-aroma Sosialisme
Beberapa negara Barat secara politik mulai mengadopsi ideologi sosialisme sebagai opsi penyeimbang dari ekses negatif neoliberalisme dan oligarki. Dorongan rakyat untuk adopsi sosialisme (terbatas) muncul sebagai respons terhadap ekses kapitalisme oligarkis, dan memperjuangkan serta mendorong (secara politik) peran negara dalam redistribusi kekayaan.
Negara seperti Norwegia dan Denmark berhasil menggabungkan pasar bebas dengan jaminan sosial (model negara kesejahteraan). Namun, sosialisme ala Uni Soviet atau Maois (otoriter) gagal karena represi dan inefisiensi. Negara Norwegia memberi pelajaran dimana 70% kekayaan minyak dikelola negara, dana pensiun nasional (Government Pension Fund Global) senilai $1,4 triliun (2023) untuk jaminan kesehatan dan pendidikan.
Sedangkan di India, ‘Kerala’ merupakan kebijakan redistribusi lahan dan pendidikan gratis dalam rangka mengupayakan kemiskinan hingga 12% (2020).
Tetapi karakter utama kelompok kapitalis memang memupuk kekayaan secara agresif. Tetapi tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang meningkat linier secara tidak terbatas, apalagi pengerukan kekayaan. Neoliberalisme dan kapitalisme memang telah berkembang luas, tetapi hukum alam semesta tidak membiarkan “keserakahan” berkembang tanpa batas.
Di tahun 2025 Trump membuat situasi agak berbalik arah, dari globalisasi menuju deglobalisasi atau slowbalisasi. Trump melihat bahwa situasi ekonomi dalam negeri menuju krisis, ketimpangan pendapatan, dan konflik sosial meningkat. Maka Trump mengawali masa presidensinya dengan prioritas proteksi ekonomi negaranya melalui perang dagang yang saat ini masih berlangsung seru, panas dan menyebabkan turbulensi ekonomi global.
Langkah kontroversal Trump ternyata memberi berkah bagi negara-negara kurang dan sedang berkembang (termasuk Indonesia) memanfaatkan momentum deglobalisasi dan atau slowbalisasi untuk meningkatkan ekonominya melalui ‘ruang proteksionisme’ yang sebelumnya dilibas globalisasi dan perdagangan bebas.
Ini menjadi momentum untuk introspeksi diri bagi negara belum/sedang berkembang: “apakah tetap gigih meneruskan neo-liberalisme atau ‘kembali” ke konstitusi negara, karena konstitusi negara tidak pernah mengkhianati bangsanya (meminjam istilah Jehansah Siregar Ph.D).
Artinya apakah kita masih percaya kepada neoliberalisme dan globalisasi agar bisa mensejahterakan rakyat, atau harus juga membela kepentingan kesejahteraan rakyat (sosialis)? Bukankan Pancasila adalah ideologi yang moderat, dititik imbang antara liberalis dan sosialis?
Sejarah membuktikan bahwa tanpa kontrol rakyat, oligarki akan menggerogoti cita-cita keadilan sosial dalam Pancasila. Sosialisme ala Indonesia seharusnya dibangun melalui demokrasi partisipatif, bukan otoritarianisme atau oligarkis.
Keengganan Elit Oligarki dan Kaum Oportunis
Seperti umumnya tabiat penguasa yang merasa kekuasaan adalah ‘milik’nya, penguasa elitis dan otoriter akan cenderung berpendapat seperti Robert Mugabe, yang mengatakan: “Power is not given, it is taken. And once taken, it is never surrendered”. Robert Mugabe mantan Presiden Zimbabwe yang berkuasa selama 37 tahun, terkenal karena menolak turun jabatan meski dihantam tekanan internasional dan krisis ekonomi.
Menurut Robert Michels ada ‘hukum besi’ oligarki, “Iron Law of Oligarchy”. Teori ini menyatakan bahwa semua organisasi, bahkan yang demokratis, cenderung berkembang menjadi oligarki karena kebutuhan akan kepemimpinan terpusat. Dalam konteks negara, kekuatan seperti uang, akses ke media, dan jaringan politik memungkinkan minoritas menguasai proses demokrasi.
Kecenderungan keengganan elit oligarki rezim penguasa untuk menghadapi suksesi secara baik-baik dan bermartabat, justru menyebabkan tekanan pada proses demokrasi yang luber-jurdil. Dengan kewenangan sebagai penguasa, manipulasi hukum bisa terjadi. Bila terjadi demikian, maka isu legalitas vs legitimasi akan menyebabkan distabilitas.
Kalau bentuk oligarkis tidak bisa dihindari, apakah rezim penguasa oligarkis bisa diminimalkan peran pengaruhnya? Jawabnya ‘bisa’ jika distribusi sumber daya material yang timpang ditiadakan, sehingga tidak ada lagi celah bagi kekuasaan politik yang terlalu besar untuk kepentingan segelintir pelaku.
Ada beberapa catatan cara untuk mengatasi ekses oligarki:
Mengurangi ketimpangan ekonomi: Dengan mengurangi ketimpangan ekonomi, oligarki dapat dilemahkan karena kekuatan ekonomi tidak lagi menjadi dasar menguasai pemerintahan.
Meningkatkan partisipasi masyarakat: Dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik dapat membantu mengurangi pengaruh oligarki dan memperkuat demokrasi.
Menguatkan lembaga penegak hukum: Dengan menguatkan lembaga penegak hukum dapat membantu mengurangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh oligarki.
Praksis diberbagai negara sedang berkembang, ketiga hal tersebut sulit terlaksana karena selain rata-rata tingkat pendidikan yang rendah, literasi yang rendah, juga tingkat pendapatan yang masih pas-pasan bahkan mini, sehingga pragmatisme menjadi kebutuhan untuk ‘survival’.
Selain ketimpangan distribusi sumberdaya material, sulitnya rezim oligarki diminimalisir peran dan pengaruhnya, adalah karena makin banyaknya kelompok oportunis dan petualang politik serta kelompok premanisme (kerah putih maupun biru) berkembang dalam masyarakat, bahkan kehidupan birokrasi.
Dalam situasi ekonomi yang sulit, banyak pengangguran, lapangan kerja terbatas, serta pendidikan dan skill yang relatif rendah, kelompok oportunis dan para petualang makin banyak, dan masyarakat semakin pragmatis dan apatis dalam konteks survival maupun “demi keamanan sosial”. Kesemuanya berujung pada ‘perebutan’ suara/voters untuk kontestasi dari pemilu ke pemilu.
Kelompok oportunis bisa merasuk ke berbagai segmen kehidupan sosial-ekonomi. Kelompok ini berkembang karena berbagai alasan, antara lain:
Motif keserakahan: Kekuasaan dan kekayaan sering kali menjadi tujuan utama, bukan alat untuk melayani publik.
Sistem yang lemah: Celah hukum, pengawasan longgar, atau ketidakjelasan aturan memudahkan penyalahgunaan wewenang.
Budaya “impunitas”: Pelaku merasa aman karena hukuman tidak tegas atau ada perlindungan dari jaringan kekuasaan (backing).
Modus Oligarki
Modus yang dipakai para elit oligarki dalam mempertahankan kekuasaan bisa melalui:
Pemanfaatan kelompok oportunis dan petualang dan premanisme
Pemutarbalikan aturan: Aturan diakali dengan dalih “kebutuhan negara” atau “demi kepentingan rakyat”, padahal untuk kepentingan pribadi dan golongannya sendiri;
Korupsi dan nepotisme: Jabatan diperjual-belikan, proyek dikorupsi, atau posisi strategis diisi keluarga/kroni.
Politik transaksional: Kekuasaan dipertahankan dengan bagi-bagi sumber daya (uang, jabatan) kepada pendukung.
Situasi ini akan berlarut-larut jika tidak ada gerakan untuk menghambatnya, antara lain dengan :
Memperkuat sistem: Transparansi anggaran, audit independen, dan aturan anti-korupsi yang jelas.
Edukasi publik: Masyarakat harus kritis dan aktif mengawasi kebijakan pemimpin.
Penegakan hukum tanpa tebang pilih: Hukum harus berlaku sama untuk semua, tanpa pandang status.
Membiarkan budaya politik pasif: Masyarakat yang apatis atau terfragmentasi memudahkan oligarki mempertahankan kekuasaan
Dalam beberapa kasus di negara-negara kurang dan sedang berkembang, fakta kesenjangan, kemiskinan, pengangguran seolah menjadi proritas patriotik para elit oligarki, tetapi praktiknya tidak cukup serius, konsisten dan berkelanjutan. Fakta-fakta ini tetap akan menjadi arena permainan yang ‘seolah memang’ dipertahankan untuk tetap memelihara skema ketergantungan terhadap elite oligarkis.
Adaptasi Sistem Oligarki
Oligarki adalah sistem yang bertahan melalui struktur kekuasaan (ekonomi, politik, jaringan), bukan sekadar keberadaan individu. Jika satu elit meninggal atau diganti, sistem sering kali meregenerasi diri dengan memasukkan anggota baru (misalnya, keluarga, kolega, atau elit baru yang disetujui oleh kelompok). Contohnya adalah Rusia pasca-Soviet, di mana oligarki berganti wajah tetapi sistemnya tetap bertahan.
Oligarki bisa beradaptasi untuk bertahan. Oligarki bisa “berevolusi” dengan mengakomodasi kepentingan baru atau menyerap elit dari kelompok oposisi (misalnya, pengusaha yang bekerja sama dengan rezim). Ini membuat sistem tetap stabil meski ada perubahan personal.
Adaptasi oligarki melalui perubahan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat juga dilakukan sebagai ‘make-up’ wajah. Oligarki bisa “berbaik hati” dengan meningkatkan kesejahteraan jika merasa terancam (misalnya, ancaman revolusi atau sanksi internasional). Contoh: Program sosial di Arab Saudi untuk meredam ketidakpuasan publik. Sebaliknya, oligarki yang terlalu eksploitatif bisa memicu krisis legitimasi, seperti yang terjadi dalam Revolusi Bolshevik 1917.
Oligarki sangat memperhatikan kepentingan pragmatis. Jika kesejahteraan rakyat menguntungkan stabilitas bisnis (misalnya, tenaga kerja yang sehat dan terdidik), oligarki mungkin mendukung kebijakan sosial. Contoh: Industrialisasi Korea Selatan di era Park Chung-hee, yang menggandeng konglomerat (chaebol) untuk pertumbuhan ekonomi.
Pada intinya adaptasi oligarki untuk bertahan bisa melalui cara legitimasi dan eksploitasi. Oligarki memang adaptif dan cenderung abadi, tetapi bukan tak terelakkan. Perubahan komposisi elit tidak serta-merta mengubah sistem, kecuali ada transformasi struktural (hukum, ekonomi, budaya). Demokrasi murni mungkin utopis, tetapi upaya untuk meminimalkan pengaruh oligarki bisa dilakukan melalui kombinasi tekanan masyarakat, reformasi institusi, dan kesadaran kolektif akan hak-hak politik.
Peran Pemimpin Kharismatik: Dua Sisi Mata Pisau
Pemimpin kuat dan berintegritas bisa menjadi katalis perubahan oligarki, tetapi risiko otoritarianisme selalu mengintai. Contohnya:
Lee Kuan Yew (Singapura): Dengan integritas dan visi jelas, ia membangun institusi anti-korupsi (CPIB) dan ekonomi berbasis meritokrasi. Namun, rezimnya juga dianggap otoriter, membatasi kebebasan sipil. Keberhasilan Singapura lebih karena kombinasi kepemimpinan kuat dan pembangunan institusi.
Nelson Mandela (Afrika Selatan): Pasca-apartheid, Mandela menggunakan kharisma untuk rekonsiliasi, tetapi ia juga memastikan transisi ke demokrasi dengan memperkuat konstitusi dan pengadilan independen. Perubahannya bertahan karena tidak bergantung pada satu tokoh.
Pemimpin “kuat” seperti Park Chung-Hee (Korea Selatan) atau Suharto (Indonesia) awalnya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem otoritarian mereka justru melanggengkan korupsi dan ketimpangan. Perubahan berkelanjutan baru terjadi setelah reformasi institusi (misal: demokratisasi Korea Selatan pasca-1987).
Reformasi, Transformasi Institusional.
Pemimpin kharismatik tidak menjamin perubahan kesejahteraan masyarakat, tetapi reformasi institusional adalah kunci keberlanjutan agar sistem kekuasaan memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya.
Sejarah menunjukkan bahwa tanpa penguatan institusi, perubahan oleh pemimpin kharismatik bisa rapuh. Contoh: Botswana, pasca kemerdekaan (1966), Botswana menghindari “kutukan sumber daya alam” dengan membangun institusi anti-korupsi dan hukum yang transparan. Pemimpin seperti Seretse Khana tidak otoriter, tetapi fokus pada konsensus dan akuntabilitas.
Di negara Chile, pasca-Pinochet, transisi demokrasi 1990-an berhasil karena partai politik, sipil, dan militer sepakat pada reformasi konstitusional, meski prosesnya bertahap.
Sejarah membuktikan negara yang berhasil keluar dari krisis seperti ini tidak hanya mengandalkan satu tokoh, tapi koalisi reformis yang membangun sistem, bukan kultus individu.
Dalam reformasi instusional, peran masyarakat sipil dan tekanan eksternal diperlukan. Perubahan sering lahir dari gerakan akar rumput atau tekanan global.
Seperti di Indonesia 1998: Jatuhnya Suharto dipicu krisis ekonomi, tetapi gerakan mahasiswa dan LSM memastikan transisi ke demokrasi. Tokoh seperti Gus Dur atau Megawati penting, tapi reformasi hukum dan pemilu adalah hasil tekanan kolektif.
Di Ghana, di bawah Jerry Rawlings (awalnya diktator), Ghana beralih ke demokrasi pada 1990-an setelah masyarakat sipil dan donor internasional mendorong pemilu multipartai.
Epiloog
Bentuk pemerintahan oligarkis sulit dihindari terutama bagi negara kurang dan sedang berkembang dengan berbagai alasan seperti telah diuraikan sebelumnya.
Dewasa ini Indonesia juga menghadapi situasi yang demikian. Protes dan demonstrasi bisa terus berlanjut dan meningkat, bahkan berujung pada ‘reformasi jilid dua’. Tetapi hal yang utama dan terutama adalah reformasi institusional (terutama politik, dan hukum) yang harus dikembalikan ke konstitusi UUD 1945, dan mendorong gerakan nasional untuk mewujudkan negara kesejahteraan.
Sudah waktunya Indonesia bergerak; sudah waktunya para generasi muda bangun dari ketidakpedulian, dan makin terjerumus pada kehidupan hedonis dan narsistik.
Sudah waktunya kembali ke nilai-nilai Konsitusi UUD 1945 untuk mewujudkan negara kesejahteraan yang berdaulat; bukan memanipulasinya. Jangan lagi mengandalkan bentuk pemerintahan oligarkis yang manipulatif, yang makin kesini makin terbuka kotak pandora berisi berbagai skandal yang mengagetkan dan memalukan.
Semoga.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News