
Oleh Hadipras
Pengamat Ekonomi Politik
SURABAYA, 7 APRIL 2025 – VNNMedia – Perang tarif yang diluncurkan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap berbagai negara, termasuk China, dapat menimbulkan efek domino (spillover effects) pada ekonomi global- tata ekonomi dunia baru (peta geo-ekonomi, geo-politik), termasuk stabilitas ekonomi-politik di Indonesia.
Berikut beberapa catatan konsekuensi utama bagi Indonesia
Dampak Pertumbuhan Ekonomi
Gangguan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama disebabkan:
Pertama, penurunan ekspor. Jika AS memberlakukan tarif impor yang tinggi, permintaan global terhadap komoditas (seperti minyak sawit, batubara, nikel) bisa menurun, mengurangi pendapatan ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS sebelumnya 2019-2023 rata-rata tumbuh 11% per tahun.
Kedua, gangguan rantai pasok global. Banyak industri manufaktur Indonesia bergantung pada bahan baku impor dari China atau negara lain yang terkena tarif AS. Kenaikan biaya impor dapat mengurangi daya saing produk Indonesia, jika tidak mampu secara cerdas mensiasati pasokan bahan baku.
Ketiga, penurunan permintaan dan pesanan pabrik dapat meningkatkan ancaman pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya. Walaupun Pak Jusuf Kala menyatakan tenang saja karena pengusaha berpengalaman menghadapi turbulensi, tetapi jika banyak variabel yang turbulen termasuk geopolitik, kewaspadaan dan kehati-hatian menrupakan keniscayaan.
Keempat, investasi asing melambat. Ketidakpastian perdagangan global dapat membuat investor asing lebih berhati-hati, mengurangi aliran modal ke pasar emerging markets seperti Indonesia.
Kelima, pengusaha dalam negeri akan wait and see. Sektor properti mengalami ketidakpastian, karena situasi yang tidak menentu dan juga penurunan jumlah kelas menengah.
Keenam, kebijakan tarif impor Trump juga meningkatkan risiko resesi ekonomi AS, yang dapat berdampak pada ekonomi global, termasuk Indonesia.
Dampak pada Nilai Tukar Rupiah (IDR) dan Suku Bunga
Perang tarif AS juga akan memberikan efek pada nilai tukar dan suku bunga. Kurs Rupiah mengalami tekanan depresiasi, jika ekspor Indonesia melemah dan impor menjadi lebih mahal, defisit neraca perdagangan dapat memburuk, dan melemahkan nilai Rupiah.
Di samping itu kebijakan The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga US dollar, akan meningkatkan Capital Outflow. Investor asing mungkin menarik dana dari pasar Indonesia ke aset yang lebih aman (seperti USD), hal ini akan memperburuk pelemahan IDR.
Pada gilirannya, kebutuhan komoditi strategis yang umumnya berasal dari import (BBM dan elektronik) akan menaikkan harga barang-barang, sehingga bisa terjadi kenaikan inflasi. Walaupun tidak terdampak langsung, produk-produk 9 bahan pokok juga akan terdampak naik karena produsen 9 bahan pokok juga harus menyesuaikan diri dengan situasi kenaikan harga, tuntutan pendapatan pekerja dsb.
Bank Indonesia (BI) akan sangat berhati-hati untuk menetapkan kebijakan suku suku bunga terkait kredit modal, kredit konsumsi maupun stabilitas moneter.
Dampak Tidak Langsung Lainnya.
Permintaan dari China sebagai mitra dagang utama Indonesia akan cenderung melemah. Jika ekspor China ke AS terhambat, permintaan China terhadap bahan baku Indonesia (seperti bijih nikel dan batu bara) juga bisa turun.
Di samping itu akan terjadi volatilitas pasar keuangan, dimana ketidakpastian geopolitik dapat meningkatkan fluktuasi pasar saham dan valas Indonesia, memengaruhi kepercayaan investor.
Menghadapi situasi yang demikian, Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah cerdas dan cepat untuk bisa mengurangi dampaknya dengan antara lain:
Mendorong diversifikasi ekspor ke pasar non-AS
Memperkuat konsumsi domestik untuk mengimbangi perlambatan global.
Kebijakan BI yang hati-hati (seperti intervensi valas atau penyesuaian suku bunga) untuk stabilisasi Rupiah
Seberapa efektif langkah ini, sangat tergantung pada skala dan durasi perang tarif, serta respons kebijakan pemerintah Indonesia. Kabinet Merah Putih tidak bisa sibuk dan heboh dengan persaingan politik. Kesemuanya harus dilepas dan menjadikan situasi mnuju krisis ini musuh bersama.
Menciptakan Tata Ekonomi Baru Dunia?
Yang mungkin menarik untuk dicermati, apakah perang tarif AS, terutama jika berlarut-larut, berpotensi mengubah peta ekonomi global secara signifikan. Beberapa tren yang mungkin terjadi:
Fragmentasi Ekonomi Global. AS dan sekutunya (Eropa, Jepang, dll.) mungkin membentuk blok perdagangan yang lebih proteksionis.
China dan negara-negara yang berkonflik dengan AS (seperti Rusia) akan memperdalam kerja sama alternatif melalui BRICS, RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), inisiatif Belt and Road (BRI).
Polarisasi Ekonomi bisa terjadi, dengan dua kutub utama: Blok Barat (AS & Sekutu) vs Blok Timur (China, BRICS, dll.).
Kenaikan Signifikansi BRICS+ (Brazil, Russia, India, China, South Africa + anggota baru seperti Iran, UAE, Mesir, Ethiopia) berpotensi menjadi kekuatan tandingan bagi Barat.
De-Dolarisasi: BRICS semakin gencar mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan, mengurangi dominasi USD.
Pasar Alternatif: Jika AS membatasi akses pasarnya, negara BRICS akan memperkuat perdagangan internal dan kerja sama teknologi.
Akibatnya peta rantai pasok gobal mungkin akan berubah:
Reshoring & Friend-Shoring: AS dan Eropa mungkin memindahkan produksi dari China ke negara sekutu (Vietnam, India, Meksiko).
China akan memperkuat kemandirian teknologi (semikonduktor, AI) dan mencari mitra baru di Global South.
Dalamm situasi yang demikian, Indonesia harus mampu membangun diplomasi ekonomi yang cerdas dan tepat.
Ada potensi bahwa polarisasi ekonomi dunia akan makin menguat dengan ciri-ciri:
Dua Sistem Pembayaran: SWIFT (Barat) vs CIPS (China), SPFS (Rusia).
Dua Standar Teknologi: AS dengan blok demokrasi vs China dengan negara otoriter/berkembang.
Dua Aliansi Keamanan: NATO vs Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Perang tarif AS bisa menjadi katalis bagi tatanan ekonomi multipolar, di mana BRICS dan sekutunya semakin berpengaruh.
Kondisi ini bisa mendorong dominasi USD terkikis, tetapi tidak akan hilang sepenuhnya dalam waktu dekat. Indonesia dan negara berkembang lain harus hati-hati mengambil posisi agar tidak terjebak dalam persaingan AS-China.
Pergeseran ini tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi tren jangka panjang sudah jelas: globalisasi ala Barat sedang ditantang, dan polarisasi ekonomi semakin nyata.
Dampak Perang Tarif AS terhadap Geopolitik Eropa dan Asia-Pasifik.
Perang tarif yang dilancarkan AS tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga mengubah dinamika geopolitik di Eropa dan Asia-Pasifik. Berikut analisis efek domino dari kebijakan proteksionis AS.
Dampak terhadap Geopolitik Eropa
Perebutan Pengaruh antara AS, Eropa, dan China.
Ketegangan Transatlantik: Jika AS memberlakukan tarif terhadap UE (misalnya, pada mobil atau baja), Uni Eropa akan membalas, memperburuk hubungan AS-Eropa.
Eropa Terjepit antara AS dan China: beberapa negara Eropa (Jerman, Prancis) ingin menjaga hubungan dagang dengan China. Namun, tekanan AS agar Eropa mengurangi ketergantungan pada China (misal, di sektor teknologi & energi) akan memicu ketegangan.
Rusia sebagai Variabel Pengganggu. Jika AS-Eropa berseteru, Rusia bisa memanfaatkan celah ini untuk memperkuat pengaruh energi (gas) di Eropa.
Potensi Perpecahan di UE.
Negara Pro-AS vs Pro-Kemandirian Eropa: Eropa Timur (Polandia, Baltik) lebih pro-AS dan mendukung kebijakan keras terhadap China/Rusia.
Eropa Barat (Jerman, Prancis) ingin menjaga otonomi strategis dan tidak sepenuhnya mengikuti AS.
Nasib Kebijakan Industri Hijau Eropa: Tarif AS (seperti Inflation Reduction Act/IRA) bisa merugikan industri Eropa, memicu proteksionisme balasan.
Dampak terhadap Geopolitik Asia-Pasifik.
China Akan Lebih Agresif di Asia. Jika ekspor China ke AS terhambat, Beijing akan mencari pasar baru di Asia Tenggara & Afrika.
Inisiatif BRI (Belt and Road) akan Diperkuat untuk mengamankan pengaruh ekonomi.
ASEAN Terjepit. Negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Thailand bisa diuntungkan dari relokasi pabrik (diversifikasi dari China). Namun, tekanan memilih blok (AS vs China) akan meningkatkan ketegangan di kawasan.
Meningkatnya Ketegangan di Laut China Selatan & Taiwan
AS & Sekutu Akan Perkuat Militarisasi: Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia akan semakin dekat dengan AS dalam keamanan.
China mungkin merespons dengan uji militer lebih sering di sekitar Taiwan & Laut China Selatan.
Risiko Konflik Tidak Langsung:
Jika perang tarif berlarut, AS bisa gunakan tekanan non-ekonomi (sanksi teknologi, embargo) yang memicu reaksi keras China.
Kebangkitan Blok Alternatif (BRICS, RCEP).
China akan Memperkuat BRICS & RCEP:
BRICS+ (dengan Iran, UAE, dll.) bisa jadi platform anti-AS
RCEP (perdagangan Asia-Pasifik dipimpin China) akan jadi tandingan CPTPP (yang dipengaruhi AS).
India sebagai Penyeimbang: India tidak sepenuhnya pro-AS atau pro-China, tetapi bisa manfaatkan perang tarif untuk menarik investasi manufaktur.
Berdasarkan identifikasi dampak geopolitik, diperkirakan arah geopolitik global baru akan menjadi sebagai berikut:
Eropa Akan Terbelah: Antara kepentingan ekonomi dengan China vs tekanan keamanan dari AS
Asia-Pasifik Makin Panas: Perang tarif akan mempercepat persaingan AS-China, dengan ASEAN sebagai medan tarik ulur.
Tatanan Multipolar Menguat: BRICS & aliansi non-Barat akan semakin penting, tapi Barat (AS + Eropa) tetap dominan dalam keuangan & militer.
Perang tarif AS bukan hanya soal ekonomi, tapi juga mempercepat fragmentasi dunia ke dalam blok-blok geopolitik yang bersaing.
Stabilitas Politik & Ekonomi Indonesia.
Sejalan dengan kemungkinan pergeseran peta geopolitik dan ekonomi baik di Eropa dan Asia Pasifik, para oligarkhi dunia tentu akan mencari peluang-peluang baru dan membangun kesepakatan-kesepakatan baru terhadap rezim penguasa di negara-negara berkembang. Ada kemungkinan aliansi oligarkhi-penguasa juga berubah struktur pemainnya dan akan memberi perubahan pada pola bisnis dan paradigma politik dalam negeri negara berkembang, termasuk Indonesia.
Situasi ini tentu akan menjalani masa turbulensi walau mungkin tidak besar untuk proses adaptasi, dan dalam masa ini stabilitas ekonomi politik masih mencari bentuk mapannya.
Situasi politik dalam negeri pasca Pemilu 2024 dianggap oleh sebagian masyrakat kurang legitimate, dan masih menyisakan berbagai persoalan. Mulai dari soliditas kabinet, akomodasi melalui kabinet gemuk (gemoy), dugaan berbagai mega korupsi yang disinyalir tidak mungkin tidak melibatkan oknum-oknum penguasa, janji politik kontroversial (seperti MBG dan lembaga Danantara) yang menyerap modal sangat besar.
Situasinya menjadi miris karena situasi pasca pemilu 2024 dewasa ini dihadapkan pada situasi dampak krisis global. Ditambah melemahnya Rupiah ke level Rp 17.000/USD sebagai yang terburuk sejak 1998. Banyaknya PHK dan penutupan beberapa industri manufaktur. Target pendapatan negara (APBN) berat untuk dicapai karena penurunan ekonomi kelas memengah, dan penurunan kemampuan pajak.
Dari sisi masyarakat, trust kepada rezim pemerintah harus diakui kurang menentu, bukan saja karena hebohnya buzzer saling serang, tetapi juga fakta makin derasnya dugaan korupsi, manipulasi, serta tidak terkomunikasikan dengan baik RUU TNI-POLRI yang dianggap intervensi politik demokrasi.
Isu trust ini, serta dugaan adanya kebijaksanaan fiskal yang memberatkan iklim usaha (misal PPN 12%, digitalisasi pajak dll) menjadikan aktivitas ekonomi riil dan pasar keuangan tertekan, pengangguran meningkat, menyebabkan penurunan daya beli yang signifikan, yang terasa dari situasi Lebaran 2025 ini.
Lalu, apakah pemerintahan RI mampu menjaga stabilitas politik dan ekonomi? Ada beberapa kemungkinan skenario :
- Stabil dalam Jangka Pendek, tetapi ada risiko krisis politik 2025-2026
– Di bidang ekonomi, Pemerintah masih punya alat stabilitas BI bisa intervensi pasar valas & naikkan suku bunga (meski berisiko tekan pertumbuhan).
– Subsidi BBM/pangan bisa diperpanjang untuk meredam gejolak sosial. Namun, jika polarisasi politik makin dalam, tekanan terhadap pemerintahan baru akan meningkat.
– Reshuffle Kabinet awal masa jabatan sangat memungkinkan. Jika kinerja ekonomi buruk, Presiden mungkin melakukan perombakan menteri ekonomi untuk restorasi kepercayaan pasar.
– Protes Massa & Ketidakpuasan Sosial akan terus terjadi dan mngganggu stabilitas. Jika PHK terus terjadi dan harga kebutuhan melambung, demo besar seperti 1998 bisa terulang. - Pola respons pemerintah (represif vs akomodatif) akan menentukan eskalasi konflik. Titik kritis yang harus diwaspadai, jika Rupiah tembus Rp 17.500-18.000/USD bisa memicu panic selling & capital outflow besar-besaran.
- Kenaikan harga BBM bersubsidi mungkin harus dilakukan (jika APBN tidak kuat). Menyebabkan inflasi melonjak dan demo massa akan meningkat.
Intervensi terlalu keras terhadap oposisi dan aktivis bisa memicu krisis legitimasi global.
Ada beberapa saran untuk menjaga stabilitas :
Pemerintah harus transparan dalam kebijakan ekonomi untuk memulihkan kepercayaan investor.
Menghindari kebijakan populis yang tidak terukur (seperti program gratis tanpa pendanaan jelas).
Memperkuat komunikasi politik untuk meredam polarisasi politik pasca-Pemilu.
Koordinasi BI dan Kemenkeu untuk stabilisasi Rupiah (intervensi valas, percepat proyek ekspor). Dengan demikian Pemerintah masih bisa bertahan dalam jangka pendek, tetapi risiko krisis politik-ekonomi bisa terajdi jika kebijakan tidak hati-hati.
Stabilitas ekonomi-politik Indonesia 2025-2026 tergantung pada:
Kemampuan menahan laju pelemahan Rupiah.
Menghindari gejolak sosial akibat janji politik yang gagal dipenuhi.
Menjaga kepercayaan pasar & investor asing.
Tidak ada skandal politik dan korupsi besar yang berdampak legitimasi publik
Jika pemerintah gagal mengelola ekspektasi, Indonesia bisa menghadapi periode tidak stabil seperti 1998 meski dengan dinamika yang berbeda.
Wallahualam
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News