
Surabaya, 11 Agustus 2025, VNNMedia – Material bambu telah lama dikenal sebagai salah satu material alam yang banyak dimanfaatkan dalam dunia arsitektur dan pembangunan. Oleh karena merangkai atau merakit struktur bambu menjadi bangunan kokoh membutuhkan ilmu khusus dalam implementasinya, sebuah program edukasi bertaraf internasional yang diikuti para mahasiswa bertajuk ‘Bamboo Nation 2025 : Kinetic Bamboo Structure 2.0’ sukses diadakan di Surabaya.
Dalam acara Bamboo Workshop tersebut, sejumlah 28 mahasiswa dari empat universitas di dua negara yakni Indonesia dan Tiongkok belajar merancang dan merakit struktur bambu yang dapat bergerak (kinetik) dan beradaptasi dengan lingkungan. Program ini juga mengintegrasikan teknologi Augmented Reality (AR) untuk membantu perakitan.
Program internasional tersebut diselenggarakan oleh Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya atau Petra Christian University (PCU) dan Universitas Ciputra, bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) dan Xi’an Jiaotong-Liverpool University. Kegiatan ini merupakan acara tahunan yang diinisiasi oleh UNPAR sejak tahun 2014, serta telah dilakukan berbagai kampus di beberapa kota dan negara.
Dikonfirmasi Senin (11/8/2025), Penanggung Jawab kegiatan atau Person in Charge (PIC) Program Bamboo Workshop Esti Asih Nurdiah mengatakan, tahun ini kegiatan tersebut berlangsung pada 4-10 Agustus 2025. “Di program ini, para peserta akan fokus belajar pada praktik dan eksplorasi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip desain kinetik ke dalam konstruksi bambu,” jelas Esti.
Ia mengungkap, di tahun 2024 sebelumnya program ini sukses diadakan dengan workshop terkait tema bambu kinetik di Bali yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Parahyangan. “Tahun ini rangkaian acara selama enam hari diselenggarakan di Surabaya tepatnya di kampus PCU,” ujarnya.
Perempuan yang juga sekaligus sebagai dosen Architecture PCU itu menyebut, dalam kegiatan ini puluhan mahasiswa membuat struktur bambu kinetik dengan desain bangunan yang dibuat bisa bergerak menggunakan mekanisme Scissor-Like Element (SLE). “Modelnya berbentuk cangkang silindrikal, yang memungkinkan untuk dapat dibuka dan ditutup,” sambung Esti.
Ia menerangkan, dengan bentang bambu sebesar 4.3 meter dan panjang maksimal 10 meter, para mahasiswa secara bersama-sama membangun struktur bambu.
Dosen yang memiliki fokus riset tentang penggunaan bambu sebagai material bangunan itu mengungkap bahwa workshop ini merupakan hasil riset kolaborasi dosen serta mahasiswa pada empat kampus penyelenggara dari sistem mekanika, desain komputasi, optimisasi, perancangan sambungan, dan penggunaan teknologi AR dalam fabrikasi dan instalasi.
Menurutnya, AR untuk konstruksi dapat menjadi cetakan atau guideline dalam mewujudkan geometri. “Secara konvensional atau manual kita membutuhkan cetakan untuk bentuk-bentuk yang sulit. Dengan AR, model digital dipakai sebagai cetakan untuk pembangunan. Jadi AR dipakai pada tahap fabrikasi, yaitu tahap marking and coding batang bambu sebelum dirakit ke struktur yang utuh,” urai Esti.
Melalui proses belajar yang eksperimental dan kolaboratif ini, Esti berharap para peserta mendapat pengalaman secara langsung dalam merancang dan merakit struktur bambu yang adaptif. Unsur kinetis/gerakan yang ada dalam bambu tidak hanya dilihat sebagai sistem mekanik, melainkan sebagai ‘bahasa’ arsitektur yang menghasilkan bentuk estetis.
“Workshop ini memberi kesempatan bagi peserta untuk bereksperimen dengan penggunaan bambu sebagai material struktur. Mereka juga belajar tentang prinsip-prinsip kinetik di dunia arsitektur. Pekerjaan eksperimental dalam sambungan dan fabrikasi bambu ini menjadi jembatan antara kerajinan tangan tradisional dan inovasi, menggabungkan bambu yang bersumber secara lokal dengan pendekatan desain modern,” tutur Esti.
Pengenalan Bambu sebagai Struktur Bangunan
Sementara itu, seorang masiswa Arsitektur angkatan 2023 dari UK Petra Surabaya bernama Paramesti Yasmin mengatakan, baginya workshop ini menjadi kesempatan untuk mengenal bambu secara lebih mendalam dan mempelajari bagaimana material tersebut dapat diwujudkan menjadi bangunan yang fungsional dengan biaya terjangkau.
Yasmin mengungkap, dalam program ini para peserta mulai mempraktikkan materi yang telah dipelajari selama tiga hari sebelumnya. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu perakitan dengan bantuan teknologi Virtual Reality (VR), aplikasi virtual di ponsel, dan metode manual.
“Pembagian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas masing-masing metode dalam menghasilkan struktur bambu yang optimal,” ucapnya.
Sebagai peserta, Yasmin menilai, penggunaan VR masih menemui kendala, terutama dalam menghubungkan perangkat ke layar serta menyesuaikan panduan virtual dengan posisi bambu di dunia nyata.
“Prosesnya cukup memakan waktu, sehingga sejauh ini metode manual lebih efektif. Untuk saat ini, struktur yang dirakit masih digerakkan secara manual, namun ke depannya direncanakan akan dilengkapi sistem kinetik otomatis yang memungkinkan mekanisme buka-tutup dijalankan secara elektronik,” pungkas Yasmin.
Telusuri berita lain di Google News VNNMedia