Surabaya, 19 Juli 2024, VNNMedia – Puncak Kerinci Law Firm menggelar konferensi pers terkait kasus mafia tanah yang semakin menjamur di wilayah provinsi Jawa Timur, dan salah satunya baru-baru ini terjadi di wilayah Kabupaten Gresik.
Hal ini dikatakan oleh Ood Chrisworo, S.H., M.H., selaku advokad senior dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Puncak Kerinci Law Firm ketika usai membantu memenangkan gugatan kliennya (Tjong Cien Sing) atas tergugat NG Ek Song atas objek sengketa tanah di Desa Manyarejo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik dengan luas tetap 32.750 mater persegi.
Pengadilan Negeri (PN) Gresik yang mengadili perkara perdata pada peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan Nomor 5/Pdt.G/2023/ PN GSK, yakni mengembalikan batas-batas dalam keadaan semula.
Dalam hal ini, Ood (panggilan akrabnya) mengatakan kepada para wartawan secara terbuka, bahwa mafia tanah itu memang ada dan nyata.
“Ya, jadi begini para rekan-rekan media. Perlu kita sampaikan bahwa mafia tanah itu nyata. Ini untungnya klien kami berduit, sehingga bisa menyewa kami untuk mengembalikan hak-haknya,” katanya kepada wartawan, Rabu (17/07/2024) sore kemarin.
Ood pun memberikan pesan kepada seluruh masyarakat Surabaya agar berhati-hati dan berwaspada, serta meminta kepada para pejabat yang berurusan terkait pertanahan, agar jangan sesekali ikut terlibat bermain sebagai mafia tanah.
“Dengan segala hormat kami, tolong supaya pejabat-pejabat jangan ikut bermain mafia tanah. Kasihan masyarakat itu jika harus berjuang, kalau hak-haknya terkait tanah dirampas oleh para mafia tanah,” pesannya.
Ood mencontohkan salah satu kasus yang terjadi baru-baru ini terjadi di wilayah Kabupaten Gresik. Ood mengatakan, kalau faktanya tidak bisa menunjukan batasan tanahnya, sehingga didorong seperti itu maka nantinya gugatan di pengadilan itu putusannya N.O. (Tidak dapat diterima/Niet Ontvankelijke Verklaard).
“Ini untungnya dalam kasus ini sudah bersertifikat, dan sertifikatnya diserahkan ke PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Namun kok bisa ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) itu berubah? Dasarnya apa? Disuruh merubah kembali ke posisi semula tidak mau. Ternyata ada permohonan-permohonan yang diduga palsu atau dipalsukan,” ungkapnya.
Ood mengatakan, padahal pemilik tanah tersebut masih di Cina dan dikatakan sebagai penunjuk batas tanah ketika dilakukan atas perubahan luas tanah.
“Masa’ tanah senilai dua ribu dua ratus sembilan puluh satu di pergudangan yang harga per-meternya Rp3.500.000,- hingga 4 juta per-meter persegi diserahkan begitu saja? Padahal menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), peralihan tanah harus dihadapan PPAT dan itu harus bayar pajak,” bebernya.
Ood menduga, bahwa yang mencaplok tanah milik kliennya memang sengaja berniat menghindari pajak, karena lebih baik bermain tanah dengan mafia tanah.
“Maka dapat diduga. Lebih baik bermain tanah dengan mafia tanah, bayarnya gak sampai 3 setengah kali dua ribu dua ratus sembilan puluh satu, cukup dengan 1 miliar atau 2 miliar selesai,” ucapnya.
“Silahkan gugat, nanti N.O. saja,” imbuhnya.
Ood juga mengatakan, kalau ada warga yang memiliki tanah dan dirampas oleh mafia tanah itu kasihan, karena kalau mengurusnya kembali harus memiliki modal. Ood pun mencontohkan dari pengalaman kasus yang telah ditanganinya, bahwa kalau pejabat di BPN Gresik itu memang punya hati dan bersedia melakukan peninjauan ulang itu bagus.
Ood juga memberikan apresiasi terhadap Satgas Mafia Tanah, Polres Gresik dan Kejaksaan Gresik yang telah memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan, sehingga kasus ini selesai untuk saat ini sesuai dengan ekspektasi.
“Saya acungi jempol kepada Satgas Mafia Tanah, Polres Gresik dan Kejaksaan Gresik. Bahwa putusan itu bisa ditinjau kembali kalau tidak benar, dan untungnya kinerja Satgas Mafia Tanah di Gresik itu memang sangat bagus untuk masyarakat,” terangnya.
Ood berharap kinerja Satgas Mafia Tanah di daerah-daerah lain seperti halnya di Kabupaten Gresik dalam penyelesaian persoalan menangani mafia tanah.
“Bagaimana di daerah-daerah lain? Contohlah seperti di Kabupaten Gresik, kalau pejabatnya itu humanis bisa memberikan teguran dalam penyelesaian persoalan menangani mafia tanah,” jelasnya.
Ood pun mengkhawatirkan jika keberuntungan tidak berpihak kepada pemilik tanah di daerah lain terkait kasus menghadapi mafia tanah. Karena menurutnya, dalam hal ini juga menjadi beban moral bagi para advokad lain.
“Bagaimana kalau pengadilannya juga tidak mengabulkan? Bagaimana kalau tidak bisa bayar pengacara? Kan kasihan. Jangan menciderai orang dengan melakukan mafia tanah, beserta dengan dalih aturan-aturan hukum yang menyulitkan orang,” tuturnya.
“Untungnya kliennya kami ini punya duit, untuk menyewa pengacara handal yang mengerti masalah pertanahaan,” imbuhnya lagi.
Ketika ditanya oleh para awak media terkait modusnya, Ood menjawab wawancara para awak media secara doorstop, bahwa mereka melakukan pengurukan tanah dulu, lalu dilakukan pemagaran dan dirayu, agar bersedia diajak melakukan perjanjian pelurusan soal ukuran tanah.
“Nanti kita lihat kelurusan tanah 10 tahun kemudian, masa’ dari 2013 ke 2023 baru dirubah? Dirubahnya pun tidak ada Berita Acara. Termasuk berapa ukuran tanah yang telah dimakan. Tahu-tahu ada permohonan soal tanah diserahkan senilai dua ribu dua ratus sembilan puluh satu. Ini modusnya diuruk dulu, lah sekarang ini baru satu sertifikat yang kita persoalkan,” bebernya lagi.
Ood pun membeberkan lagi, sertifikat 144 dimakan 500 meter persegi kurang lebih, dan seritifkat 686 kurang lebih dimakan 200 meter persegi. Itu yang 686 digunakan untuk membangun mess atau penginapan. Sedangkan yang 144 itu dari ukuran 3 meter ke belakang untuk pembangunan jalan masuk.
“Nanti kita akan tunjukan, bahwa ini tidak benar semua. Memang sertifikat dari klien kami belum berubah tapi fakta di lapangan sudah dimakan, dan itu faktanya,” tegasnya.
Sedangkan terkait tanda batasan ukuran luas tanah, Agnis Martha, S.H.,M.H., selaku advokad dari LBH Puncak Kerinci Law Firm juga mengatakan kepada para awak media, bahwa tanda batasan ukuran luas tanah telah dirusak semua.
“Sudah dirusak semua. Nah, hanya kebetulan ada satu batas yang ada di posisi dia yang belum dihilangkan, yaitu sumur bor karena terlalu dalam dan itu masih ada hingga sekarang,” ucapnya.
Untuk saat ini, Agnis mengatakan, bahwa saat ini dirinya beserta partnernya menegaskan soal ukuran luasan tanah milik kliennya dengan jelas.
“Karena sebelumnya mereka melakukan pengukuran sepihak tanpa sepengetahuan klien kami di bulan 5, dan dimana waktu itu klien kami masih di RRC. Klien kami cuma meminta untuk dikembalikan sesuai asalnya,” katanya.
Agnis pun menjelaskan, dalam waktu dekat dirinya bersama para advokad lainnya akan merebut kembali tanah yang telah dicaplok secara fisik.
“Selama ini mereka masih menggunakan jalan dari tanah milik klien kami. Jadi, mereka telah menikmati jalan itu selama sebelas tahun dari 2012 hingga 2023. Dan kami masih melakukan kalkulasi soal kerugian itu,” tandasnya.
Terpisah, Imam Budi Utomo S.H.,M.H., juga sependapat dengan pendapat Ood sebelumnya. Imam pun berpesan kepada seluruh masyarakat Surabaya, agar berhati-hati dan mewaspadai terkait persoalan tanah.
“Saya berpesan kepada seluruh masyarakat Surabaya, agar berhati-hati dan mewaspadai terkait persoalan tanah,” tegas Imam ketika dikonfirmasi, Jum’at (19/07/2024) sore.
Advokad gaek yang juga APH (Aparat Penegak Hukum) di lingkungan pengadilan ini, meminta kepada para pejabat yang bekerja dan berurusan terkait pertanahan. Agar jangan sesekali ikut terlibat bermain sebagai mafia tanah.
“Sekali lagi kami ingatkan, jangan menciderai hak orang lain dengan melakukan mafia tanah. Begitu juga dengan dalih aturan-aturan hukum yang menyulitkan hak orang lain,” pungkasnya.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News