Kadin Jatim: Penurunan Tarif AS Bukan Kemenangan, Tapi Ancaman bagi Industri Nasional

SURABAYA, 17 Juli 2025 — VNNMedia – Kebijakan Amerika Serikat yang menurunkan tarif impor produk Indonesia dari 32% menjadi 19% dinilai bukan sebagai kemenangan diplomasi, melainkan awal dari ketergantungan baru yang bisa mengancam kemandirian industri nasional. Hal ini disampaikan oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto.

Menurut Adik, penurunan tarif tersebut menyimpan risiko besar. Meski Indonesia berhasil mempertahankan surplus perdagangan dengan AS—mencapai puncaknya pada 2024 sebesar USD 16,84 miliar—keunggulan itu justru dianggap tidak adil oleh pemerintahan Presiden Donald Trump yang kembali berkuasa.

“Surplus kita dianggap merugikan mereka, padahal itu hasil daya saing ekspor kita. Kini kita justru ditekan dengan tarif dan kewajiban impor besar-besaran,” ujar Adik.

Setelah tarif 32% diumumkan pada April 2025, pasar keuangan Indonesia sempat terpukul. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dan nilai tukar rupiah melemah tajam ke Rp 17.217 per dolar AS—terburuk sejak 1998.

Delegasi pemerintah yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto akhirnya berhasil menurunkan tarif menjadi 19%. Namun, menurut Adik, hal itu ditebus dengan berbagai konsesi mahal, seperti pembelian energi dari AS senilai USD 19,5 miliar, produk pertanian USD 4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing senilai lebih dari USD 19,5 miliar.

“Tarif kita 19 persen, tapi produk AS bebas masuk ke Indonesia. Ini jelas ketimpangan,” tegasnya.

Adik memperingatkan bahwa masuknya produk-produk Amerika, seperti bahan bakar mineral, kedelai, mesin, bahan kimia, dan gandum, akan mengancam industri dalam negeri dan petani lokal. “Harga mi instan bisa turun karena gandum impor murah. Tapi dampaknya besar bagi sektor pangan nasional,” katanya.

Selain itu, kebijakan ini dinilai berpotensi menurunkan penerimaan bea masuk dan memicu defisit perdagangan. Jika anggaran negara terganggu, beban bisa dialihkan ke rakyat lewat peningkatan pajak.

Kadin Jatim juga menyoroti risiko jangka panjang berupa penurunan daya saing industri tekstil, elektronik, dan furnitur nasional, apalagi jika dibandingkan dengan Vietnam yang hanya dikenai tarif 20% tanpa memberikan konsesi besar.

“Vietnam lebih strategis. Kita justru makin tergantung pada produk impor,” ucap Adik.

Ia menegaskan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kesepakatan dagang ini. Pemerintah diminta menyusun peta jalan mitigasi risiko, perlindungan industri strategis, insentif untuk UMKM, serta reformasi fiskal yang adil.

“Kita selamat dari tarif 32 persen, tapi dengan harga mahal. Indonesia harus tetap berdaulat, bukan sekadar pasar empuk bagi produk asing,” tutupnya.

Baca Berita MEnarik Lainnya di Google Neews