
SURABAYA, 30 APRIL 2025 – VNNMedia – BERTAHAN TERHADAP TEKANAN MONETER
Oleh Hadi Prasetya
Pengamat Sosial Ekonomi dan Politik
Tulisan ini mencoba memberikan sekedar tanggapan terhadap beragam kecemasan, utamanya kelompok pebisnis kelas menengah atas Indonesia.
Dalam suatu WA group, ada isu moneter yg sedang intens di bicarakan, salah satunya : “Kewajiban Netto Posisi Investasi Internasional (PII) per 2024 sebesar US$245,3 Miliar. PII itu sudah memperhitungkan CaDev ( Cadangan Devisa ). Artinya PII negative sebesar USD 245,3 miliar.
Lebih lanjut diungkapkan dalam WAG tsb, AS bisa memberikan sanksi moneter kepada Indonesia. Mudah saja, dengan negative PII sebesar USD 245,3 miliar, jika dapat tekanan USD 50 miliar USD saja, rupiah bisa jatuh. Inilah salah satu kecemasan kelompok pebinis yang sedang hangat dibicarakan.
Ancaman Risiko Moneter
Risiko ancaman terhadap Indonesia dari potensi tekanan geopolitik AS terkait perang dagang AS-China perlu dilihat secara komprehensif, dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, politik, dan kebijakan.
Kerentanan ekonomi Indonesia ditandai oleh:
Utang Luar Negeri & Posisi Investasi Internasional (PII). Utang luar negeri Indonesia (Feb 2025) tercatat US$427,2 miliar (sekitar 34% dari PDB). Rasio utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah ambang batas aman IMF (60%), tetapi struktur utang (jangka pendek vs. panjang) dan mata uang dominan (USD) memang perlu diwaspadai. Memang lebih miris jika mencermati analisis Faisal Basri bahwa banyak hutang yang tidak ‘tercatat?’ bisa 2-3 kali lipat.?
PII negatif (US$245,3 miliar) mempunyai arti kewajiban Indonesia ke luar negeri (utang + investasi asing) melebihi asetnya di luar negeri. PII negatif memang membuat Indonesia rentan terhadap arus modal keluar (capital flight) atau depresiasi nilai tukar jika terjadi gejolak.
Ketergantungan pada USD memang sangat tinggi. Dominasi USD dalam transaksi internasional mencapai 85% transaksi perdagangan global. Jika AS membatasi akses Indonesia ke sistem keuangan USD (misalnya melalui sanksi sekunder atau pembatasan transaksi), maka likuiditas dan perdagangan Indonesia bisa terganggu.
Cadangan devisa Indonesia sekitar US$140–150 miliar). Meski cukup untuk membiayai 6–7 bulan impor, cadangan ini mungkin tidak cukup jika terjadi ‘sudden stop’ aliran modal atau serangan spekulatif terhadap Rupiah.
Kemungkinaan Mekanisme Tekanan AS
AS memiliki beberapa instrumen untuk memberikan tekanan finansial.
Sanksi Sekunder: Membatasi akses Indonesia ke sistem keuangan USD (misalnya melalui larangan penggunaan CHIPS atau SWIFT) jika AS menuduh Indonesia melanggar sanksi terhadap China. CHIPS adalah sistem pembayaran yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi keuangan antara bank-bank di Amerika Serikat dan internasional.
SWIFT adalah jaringan komunikasi yang digunakan oleh bank-bank dan lembaga keuangan lainnya untuk melakukan transaksi keuangan internasional.
Pembatasan Investasi: Larangan bagi investor AS untuk membeli surat utang Indonesia (obligasi pemerintah) atau saham.
Tekanan pada IMF/Bank Dunia: AS bisa memengaruhi kebijakan lembaga multilateral untuk membatasi pinjaman ke Indonesia.
Memainkan Psikologi Pasar: Isu geopolitik saja sudah cukup memicu pelarian modal asing (risk-off), terutama jika Indonesia dianggap “tidak netral”.
Skenario Terburuk: Depresiasi Rupiah
Jika AS melakukan tekanan sistematis (misalnya memicu penarikan modal USD sebesar US$50 miliar), dampaknya bisa sebagai berikut:
Penurunan cadangan devisa. Dalam hal ini BI harus intervensi dengan menjual USD untuk stabilkan Rupiah, mengurangi cadangan devisa.
Kenaikan suku bunga BI mungkin menaikkan suku bunga untuk menarik modal, tetapi berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi
Tekanan Inflasi depresiasi Rupiah akan meningkatkan harga impor (BBM, barang modal), sehingga bisa memicu inflasi.
Indonesia Punya Peredam Risiko
Indonesia memiliki beberapa “benteng” untuk mengurangi risiko:
Kebijakan Makroprudensial:
Otoritas keuangan Indonesia (BI, OJK) telah memperkuat regulasi aliran modal asing (misalnya batas kepemilikan asing di SBN) dan menjaga stabilitas sektor perbankan.
Diversifikasi Mitra Ekonomi:
Indonesia bisa memperdalam kerja sama dengan negara non-AS seperti China (proyek Belt and Road), Uni Emirat Arab, dan ASEAN untuk mengurangi ketergantungan pada USD.
Ketahanan Sektor Riil:
Konsumsi domestik (55–60% PDB) dan ekspor komoditas (batubara, CPO, nikel) menjadi penyangga jika terjadi krisis likuiditas USD.
Kemungkinan Sanksi AS
Kemungkinan AS Memberi Sanksi ke Indonesia. Sanksi langsung nampak rendah kemungkinannya karena Indonesia bukan target utama kebijakan AS (beda dengan Rusia/Iran).
AS membutuhkan Indonesia sebagai mitra strategis di ASEAN untuk menyeimbangkan pengaruh China. Selain itu sanksi ke Indonesia akan merusak rantai pasok global (nikel, mineral kritikal).
Sanksi AS dalam bentuk tidak langsung nampaknya punya risiko lebih tinggi. Misal investor AS mengurangi eksposur ke pasar Indonesia. Juga mungkin peningkatan biaya utang akibat persepsi risiko geopolitik.
Mitigasi untuk Indonesia.
Ada beberapa strategi mitigasi yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah.
Pertama, memperkuat kerja sama ekonomi multilateral (ASEAN, BRICS+, G20) untuk alternatif pembiayaan.
Kedua, mengakselerasi diversifikasi mata uang transaksi (misal menggunakan CNY, EUR, atau mata uang lokal dalam perdagangan bilateral).
Ketiga, mempercepat pengurangan ketergantungan impor (terutama barang strategis) melalui industrialisasi hilirisasi.
Keempat, meindungi pasar keuangan dengan memperkuat instrumen lindung nilai (hedging) dan pengawasan aliran modal jangka pendek.
Penutup
Indonesia memang rentan secara struktural karena ketergantungan pada USD dan PII negatif, tetapi risiko sanksi langsung oleh AS dinilai masih rendah. Ancaman terbesar justru berasal dari “gejolak pasar keuangan global” jika perang dagang AS-China semakin panas.
Untuk bertahan, Indonesia perlu memperkuat ketahanan internal dan mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan AS.
Pembenahan kabinet baik struktur, personil maupun kompetensi sangat diperlukan. Di samping itu transformasi institusional secara menyeluruh adalah keniscayaan (terutama membereskan masalah korupsi, nepotisme, abuse of power, penegakan hukum yang transparan akuntabel, dan gangguan premanisme). Kehidupan sosial,-ekonomi harus kondusif untuk menciptakan iklim bisnis yang baik (ease of doing business).
Partai harus didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat, bukan semata untuk politik kekuasaan yang nyatanya hipokrit.
Sudah saatnya semua pihak mengutamakan kepentingan negara-bangsa diatas kepentingan pribadi, kelompok-golongan, agar ekonomi nasional tidak ambruk. Dan masa depan anak cucu menjadi suram ditengah gelora patriotik indonesia Emas.
Semoga rakyat yang baik tergugah untuk membenahi situasi negeri yang sepertinya memang tidak baik baik saja.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News