
SURABAYA, 15 APRIL 2025 – VNNMedia – Pemerintahan Amerika Amerika Serikat akhirnya menunda pemberlakuan kenaikan tarif impor dari Indonesia sebesar 32 persen sampai 90 hari kedepan. Dalam kurun waktu tersebut, Amerika memberlakukan tarif impor sebesar 10 persen.
Atas kebijakan tersebut, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mengimbau pemerintah bergerak cepat dan cerdas serta bijaksana dalam memutuskan kebijakan.
Karena hubungan ekonomi internasional, termasuk yang dibangun Indonesia dengan rezim Donald Trump tidak dibangun di atas prinsip multilateralisme atau keterikatan institusional seperti WTO, melainkan pada prinsip transaksi langsung, kekuatan tawar, dan pengaruh bilateral.
“Ada indikasi dari Trump, bahwa sebagian dari negara-negara yang tidak melakukan retaliasi (balasan red) tarif terhadap kebijakan tarif Trump, mereka tergolong sebagai negara-negara yang masih menginginkan hubungan dagang jangka panjang dengan USA,” ungkap Adik Dwi Putranto di Surabaya.
Untuk itu, Trump melakukan penundaan pemberlakuan tarif tersebut kepada mereka dengan harapan apakah negara-negara yang tidak melakukan retaliasi tarif impor Trump cukup cerdik untuk melakukan langkah strategis berikutnya, yaitu langkah nyata dengan membuat transaksi dagang riil dengan membeli produk-produk USA dalam tempo 90 hari ke depan.
Jika negara-negara “non-retaliasi” tersebut berhasil membuktikan diri sebagai “good Boys” lewat transaksi dagang riil dalam waktu 90 hari, maka bukan hanya menghindari tarif, tetapi negara tersebut juga berpotensi mendapatkan insentif dagang tambahan.
Hal ini menurut Adik bisa dibaca dari narasi strategis yang diungkapkan Trump “Kami Tahu Kalian Tidak Bisa Bayar Lunas, Tapi Kami Ingin Lihat Itikad Baikmu”.
“Ini artinya, Donald Trump dan tim ekonominya paham bahwa defisit perdagangan AS yang menahun tidak bisa diatasi dalam 90 hari. Namun, periode ini digunakan sebagai alat ukur kesungguhan,” ujarnya.
Dengan kata lain, Trump mencari sinyal kesetiaan ekonomi, bukan saldo dagang sempurna. Maka negara yang melakukan transaksi riil dalam waktu 90 hari bisa dianggap beritikad baik dan besar kemungkinan reward diplomatik dan dagang bisa diberikan sebagai bentuk apresiasi atas sikap kooperatif.
Adik memperkirakan, ada beberapa bentuk reward atau insentif yang mungkin diberikan Trump jika Indonesia atau negara lain dianggap “Good Boy”.
Pertama, penurunan tarif bertahap (progressive tarif rollback). Tarif 32 persen tidak langsung diberlakukan, atau diturunkan secara selektif pada sektor tertentu. Contoh, produk pertanian dikenai 10 persen, bukan 32 persen, sebagai pengakuan atas “kesungguhan dagang”
“Kedua, pengecualian produk tertentu. Indonesia bisa negosiasi agar produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, atau komponen otomotif dikecualikan dari tarif penuh. Ini membuka ruang untuk diplomasi sektoral berbasis komitmen dagang timbal balik,” terang Adik
Ketiga, akses preferensial ke proyek strategis AS. Perusahaan Indonesia bisa dilibatkan dalam proyek infrastruktur, energi, atau digitalisasi di AS (melalui joint venture). Ini sebagai bentuk kompensasi tidak langsung atas partisipasi dalam menyeimbangkan deficit.
“Dan ke-empat reputasi sebagai mitra strategis. Di luar angka, status sebagai ‘Good Boy’ meningkatkan kredibilitas diplomatik dan ekonomi Indonesia di mata investor AS dan global,” kata Adik
Ia menegaskan, kebijakan Trump sangat transaksional atau stick and carrot diplomacy. Oleh karena itu, bagi negara yang berani melawan (retaliasi), justru masuk daftar target.
Sementara negara yang menghindari retaliasi dan bersikap proaktif, justru bisa masuk “zona hijau” negosiasi dan relaksasi tarif.
“Bagi Indonesia, ini adalah ujian kecerdikan diplomasi ekonomi. Menunjukkan kesungguhan dengan cara mengakselerasi pembelian produk strategis AS, namun tetap menjaga agar struktur perdagangan nasional tidak terdistorsi oleh tekanan jangka pendek.” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia bisa meningkatkan posisinya dari “Good Boy” menuju “Preferensial Partner” jika Indonesia mampu memanfaatkan 90 hari ini untuk membuktikan transaksi nyata, menunjukkan kemitraan strategis dan menghindari eskalasi konflik dagang.
“Dan sangat mungkin Trump tidak hanya menunda, tetapi juga menurunkan tarif secara bertahap dan memberikan akses preferensial baru bagi produk Indonesia. Ini adalah bentuk diplomasi transaksional positif, di mana ketundukan tanpa hasil tidak dihargai, tetapi ketundukan dengan kontribusi dihargai tinggi,” pungkasnya.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News