
SURABAYA, 27 DESEMBER 2025 – VNNMedia – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur sebesar 6,11 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026 menuai perhatian serius dari kalangan pengusaha.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menilai, kenaikan upah yang tidak dibarengi peningkatan produktivitas berpotensi memaksa pelaku usaha melakukan efisiensi.
Ketua Komite Tetap Hubungan Industrial Kadin Jatim yang juga Sekretaris Apindo Jawa Timur, Dwi Ken Hendrawanto, menyatakan pihaknya telah menerima Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur terkait penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026.
“Kami sudah menerima SK UMK dari Gubernur Jawa Timur dan ketetapan ini mulai berlaku per 1 Januari 2026,” ujar Dwi Ken.
Sebelum keputusan tersebut diterbitkan, lanjut Dwi Ken, kalangan pengusaha sempat diliputi kekhawatiran, terutama saat proses pembahasan di Dewan Pengupahan Provinsi yang melibatkan unsur pemerintah, pekerja, dan pengusaha.
Ia menegaskan, dunia usaha sejatinya telah berupaya mengikuti arahan pemerintah pusat, termasuk formula pengupahan dengan nilai alpha minimal 0,5 sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo.
“Pengusaha sudah berusaha sekuat mungkin mengikuti hitungan sesuai arahan pemerintah pusat,” katanya.
Harapan pengusaha agar nilai alpha berada di kisaran 0,5 sebagian terakomodasi, terutama di wilayah ring 1. Meski demikian, Kadin Jatim kembali menyoroti diberlakukannya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang dinilai menambah beban industri tertentu.
“Ini menjadi catatan penting, terutama industri mana saja yang masuk dalam daftar sektoral yang ditetapkan gubernur,” ujarnya.
Meski tidak seketat kebijakan tahun sebelumnya, UMSK tetap dinilai sebagai tambahan biaya operasional di luar penyesuaian UMK yang wajib dipenuhi pengusaha.
Dwi Ken menegaskan, kenaikan UMK 2026 akan berdampak luas pada seluruh sektor industri, baik skala kecil, menengah, hingga besar di Jawa Timur. “UMK tahun 2026 ini pasti berdampak ke semua lini industri,” tegasnya.
Ia berharap kenaikan upah tersebut sejalan dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak sektor industri yang belum mengalami peningkatan produktivitas meski upah terus naik.
“Kalau produktivitas tidak naik, yang terjadi pasti efisiensi,” katanya.
Menurutnya, langkah efisiensi tersebut diharapkan tidak berujung pada kebijakan ekstrem seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), terlebih kondisi industri saat ini masih menghadapi tekanan berat.
Sejumlah sektor di Jawa Timur, seperti industri sepatu, perikanan, tekstil, dan kayu, disebut tengah mengalami penurunan kinerja akibat melemahnya daya beli global, perang dagang, serta konflik geopolitik yang berdampak pada pasar ekspor.
Selain itu, kenaikan UMK juga dinilai memengaruhi daya saing investasi Jawa Timur. Disparitas upah antarprovinsi membuat sebagian pengusaha mulai melirik wilayah lain, khususnya Jawa Tengah.
“Sudah beberapa tahun terakhir ini pengusaha mulai melihat Jawa Tengah karena perbedaan upah yang cukup signifikan,” ungkap Dwi Ken.
Ia mengakui relokasi industri tersebut telah terjadi, bahkan ada pengusaha asal Jawa Timur yang membangun kawasan industri di provinsi tetangga.
Meski demikian, pengusaha lokal tetap berkomitmen mempertahankan usaha di Jawa Timur demi menjaga stabilitas sosial dan keberlangsungan tenaga kerja lokal. “Kami harus memikirkan pekerja lokal agar tidak menimbulkan masalah sosial baru,” ujarnya.
Terkait perusahaan yang belum mampu membayar upah sesuai ketentuan, Dwi Ken menjelaskan tersedia mekanisme kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja yang wajib dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja.
“Banyak pengusaha disarankan membuat keputusan bersama dengan pekerja, tentu dengan mekanisme yang sesuai aturan,” pungkasnya.
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News