Kampung Bule Legendaris di Jogja, Prawirotaman

Yogyakarta – Selain Malioboro, kawasan yang juga menjadi primadona wisatawan di Yogyakarta adalah Prawirotaman. Di sini, suasananya turis banget.
Memasuki gang dengan gapura Prawirotaman, detikTravel disambut baliho deretan nama penginapan. Di dalam jalan ini, penginapan berjejer, begitu pula kafe dan restoran, agen perjalanan, serta toko-toko aksesoris, barang antik, dan kerajinan tangan.

Pada deretan penginapan itu terdapat bermacam-macam konsep, mulai dari yang vintage, mewah, suasana hijau, hingga ala Eropa. Dari sejumlah sumber dan perbincangan detikTravel dengan warga sekitar, hotel dan penginapan paling tua adalah Airlangga Hotel. Hotel ini cukup populer di kalangan turis. Hotel lain seperti Pandanaran dan Grand Rosela juga menjadi pilihan populer turis yang datang.

Sementara itu, untuk restoran populer ada Por Aqui yang memiliki konsep bangunan dan makanan ala Mexico, restoran ini menjadi satu dengan penginapan yang juga berkonsep sama sehingga semakin digemari turis. Adapun, Till Drop Bar menjadi tempat nongkrong yang banyak digemari di sini, bar ini tidak pernah sepi setiap malamnya.

Di kawasan itu, wisatawan lokal atau pun turis asing biasa dijumpai tengah berjalan-jalan, nongkrong, atau berbelanja di warung, juga bertransaksi di tempat laundry. Ada yang menyebut kawasan itu kampung turis, ada pula yang mengatakan sebagai kampung bule.

Sejarah Prawirotaman
Nama Prawirotaman diambil dari nama seorang bangsawan kraton, Prawirotomo. Dia mendapatkan tanah kosong dari Kraton Jogja pada abad ke-19.

Sejak itu, kawasan tersebut berkembang menjadi permukiman. Selain itu, kawasan tersebut menjadi tempat tinggal Bregada Prawirotomo, salah satu kesatuan prajurit keraton Jogja pada masa penjajahan, hingga pejuang-pejuang setelahnya.

Setelah Indonesia merdeka, Yogyakarta yang saat itu sempat menjadi ibu kota negara harus menghadapi serangan Agresi Militer II dari Belanda. Itu memunculkan pasukan pemuda-pemuda berani dari Prawirotaman pada perang Gerilya tahun 1948-1949 untuk mempertahankan kemerdekaan.

“Ini pernah jadi ketuanya namanya Pak Tulus, sudah meninggal. Sampai Malioboro dan Tugu sana, mau merebut Jogja kembali, dulu kan mau dijajah lagi sama Belanda,” kata Yanto, salah satu warga asli Prawirotaman.

Pasukan pemuda ini dinamakan Pasukan Gerilyawan Hantu Maut. Di Prawirotaman I berdiri monumen khusus yang dibuat untuk mengenang pasukan ini, monumen tersebut berada tepat di depan rumah pemimpin pasukan, Tulus Muli Hartono. Pasukan ini pula yang menjadi asal dari nama jalan Prawirotaman II, Jalan Gerilya.

Selain Prawirotaman, Pasukan Hantu Maut juga tersebar di daerah Pujokusuman, dengan pemimpin yang berbeda.

“Hantu Maut bukan di Prawirotaman saja, di Pujokusuman itu juga ada Pasukan Hantu Maut. Itu pemuda-pemuda pemberani melawan Belanda dengan persenjataan ala kadarnya menjaga keutuhan NKRI, tepatnya di Jogja Rayon Selatan,” kata Sapto, ketua pengurus Kampung Prawirotaman.

Setelah Jogja kembali aman, Prawirotaman mulai menjadi pemukiman warga yang aktif. Sultan saat itu memberikan bantuan berupa subsidi mori atau kain tenun untuk membatik sebagai bentuk usaha peningkatan ekonomi pada masa itu.

“Sultan itu semacam membiayai ya istilahnya kan. Itu karena emang udah turun temurun juga, batik cap kan udah lama ya ada jadi tinggal mewarisi. Kemudian di sini itu kalau satu usaha maju kan ikut-ikutan, jadi ada usaha batik yang sukses, semua jadi buka usaha batik,” ujar Sapto.

Pada tahun 60-an, Prawirotaman telah menjadi salah satu pusat usaha batik cap, hampir semua warganya menekuni usaha batik cap ini. Boleh dibilang seluruh warga asli Prawirotaman pada zaman itu semua bisa membatik.

Namun, seiring berjalannya waktu, batik cap semakin kehilangan pamor. Awal 80-an, usaha batik hampir tidak ada yang beroperasi lagi, alat-alat batik dijual oleh warga. Mereka mulai pindah ke usaha perhotelan.

“Dulu ada yang mendirikan hotel, pertama di sana Airlangga Hotel, tahu-tahu ini pada dirikan hotel semua. Karena batik sudah nggak laku, terus bule-bule mulai datang ke sini,” kata Yanto.

Selain hotel, kafe dan restoran pun mulai dibuka di Prawirotaman. Paket komplit hotel, restoran, dan kafe itu membuat turis makin menyukai kawasan itu.

Di saat bersamaan, perkembangan Prawirotaman menjadi jujugan turis asing dan wisatawan domestik membuat investor melirik. Kini usaha-usaha di Prawirotaman tidak lagi hanya dimiliki oleh warga lokal, banyak bangunan yang telah dijual kepada orang-orang luar seperti Surabaya, Solo, hingga warga mancanegara yang menetap di Indonesia, seperti Prancis.

Lumrah menyaksikan turis asing hilir mudik di jalan Prawirotaman, makan di restoran, dan nongkrong di kafe-kafe. Terutama ketika malam hari, banyak kafe yang menyediakan beer dan minuman beralkohol. Makanan yang disediakan juga merupakan menu western.

Leave a Reply